Archive for the ‘Uncategorized’ Category

askep isolasi sosial

Posted: December 3, 2014 in Uncategorized

Konsep Dasar Isolasi Sosial

 

1 Definisi

Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang di alami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan orang lain sebagai suatu keadaan yang negative atau mengancam (Towsent alih bahasa,Daulima,1998).

Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana individu mengalami suatu kebutuhan atau mengharapakan untuk melibatakan orang lain, akan tetapi tidak dapat membuat hubungan tersebut (Carpenito,1995).

Gangguan hubungan sosial adalah suatu kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosialnya (Depkes,1994).

Menarik diri adalah suatu usaha seseorang untuk menghindari interaksi dengan lingkungan sosial atau orang lain, merasa kehilangan kedekatan dengan orang lain dan tidak bisa berbagi pikiranya dan perasaanya (Rawlins,1993).

Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam dirinya (Townsend, M.C, 1998 : 52).

Individu merasa kehilangan teman dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi pikiran, perasaan dan pengalaman serta mengalami kesulitan berinteraksi secara spontan dengan orang lain. Individu yang demikian berusaha untuk mengatasi ansietas yang berhubungan dengan kesepian, rasa takut, kemarahan, malu, rasa bersalah dan merasa tidak aman dengan berbagai respon. Respon yang terjadi dapat berada dalam rentang adaptif sampai maladaptif (Stuart and Sudeen, alih bahasa Hamid,1998).

2 Rentang Respon Sosial

 

Rentang Respon Sosial

 

Respon adaptif                                                               Respon maladaptif

Solitut                                       Kesepian                              Manipulasi

Otonomi                                   Menarik diri                          Impulsif

Kebersamaan                           Ketergantungan                     Narkisme

Saling ketergantungan

Gambar.1.1 Rentang respon social, (Stuart and Sundeen, 1998).

Keterangan dari rentang respon sosial :

  1. Solitut (Menyendiri)

Solitut atau menyendiri merupakan respon yang dibutuhkan seorang untuk merenung apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialanya dan suatu cara untuk nmenentukan langkahnya.

  1. Otonomi

Kemapuan individu untuk mentukan dan maenyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan social.

  1. Kebersamaan (Mutualisme)

Perilaku saling ketergantungan dalam membina hubungan interpersonal.

  1. Saling ketergantungan (Interdependent)

Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana hubungan tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.

  1. Kesepian

Kondisi dimana seseorang merasa sendiri, sepi, tidak danya perhatian dengan orang lain atau lingkunganya.

  1. Menarik diri

Kondisi dimana seseorang tidak dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain atau lingkunganya.

  1. Ketergantungan (Dependent)

Suatu keadaan individu yang tidak menyendiri, tergantung pada orang lain.

  1. Manipulasi

Individu berinteraksi dengan pada diri sendiri atau pada tujuan bukan berorientasi pada orang lain. Tidak dapat dekat dengan orang lain.

  1. Impulsive

Keadaan dimana individu tidak mampu merencanakan sesuatu. Mempunyai penilaian yang buruk dan tidak dapat diandalkan.

  1. Narkisme

Secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian. Individu akan marah jika orang lain tidak mendukungnya.

(Townsend M.C,1998)

3 Penyebab

Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan negative terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri kurang dan juga dapat mencederai diri, (Carpenito,L.J, 1998)

  1. Faktor predisposisi

Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku menarik diri

  1. Faktor perkembangan

Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseoarang sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga profisional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan kolaburatif sewajarnya dapat mengurangi masalah respon social menarik diri.

  1. Faktor Biologik

Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptive. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

  1. Faktor Sosiokultural

Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan system nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realitis terhadap hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini, (Stuart and sudden, 1998).

  1. Faktor persipitasi

Ada beberapa faktor persipitasi yang dapat menyebabkan seseorang menarik diri. Faktor- faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor antara lain:

  1. Stressor sosiokultural

Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunya stabilitas unit keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupanya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.

  1. Stressor psikologik

Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhanya hal ini dapat menimbulkan ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan seseorang mengalami gangguan hubungan (menarik diri), (Stuart & Sundeen, 1998)

  1. Stressor intelektual
  • Kurangnya pemahaman diri dalam ketidak mampuan untuk berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu pengembangan hubungan dengan orang lain.
  • Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit berkomunikasi dengan orang lain.
  • Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat pada gangguan berhubungan dengan orang lain
  1. Stressor fisik
  • Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari orang lain
  • Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu
  • sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain
  • (Rawlins, Heacock,1993)

4 Tanda Dan Gejala

  1. Data Subjektif

Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subjektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata “tidak “, “iya”, “tidak tahu”.

  1. Data Objektif

Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan :

  1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
  2. Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan.
  3. Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat.
  4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
  5. Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
  6. Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
  7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
  8. Posisi janin pada saat tidur.

KARAKTERISTIK PERILAKU

  1. Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
  2. Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
  3. Kemunduran secara fisik.
  4. Tidur berlebihan.
  5. Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
  6. Banyak tidur siang.
  7. Kurang bergairah.
  8. Tidak memperdulikan lingkungan.
  9. Kegiatan menurun.
  10. Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
  11. Keinginan seksual menurun.

5 Mekanisme Koping

Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Kecemasan koping yang sering digunakan adalah regresi, represi dan isolasi. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan, (Stuart and sundeen,1998:349).

 

 

 

Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Pada Klien Dengan Isolasi Sosial

 

  1. Pengkajian

Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien.

Setiap melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi:

  1. Identitas Klien

Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.

  1. Keluhan Utama

Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen

  1. Faktor predisposisi

Kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan / frustasi berulang , tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.

  1. Aspek fisik / biologis

Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhafisik yang dialami oleh klien.

  1. Aspek Psikososial
  1. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
  2. Konsep diri
  • Citra tubuh :

Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.

  • Identitas diri

Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan .

  • Peran

Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.

  • Ideal diri

Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.

  • Harga diri

Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.

  1. 6. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga social dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam

masyarakat.

  1. 7. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
  1. Status Mental

Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat        memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan            dengan orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam    hidup.

  1. Kebutuhan persiapan pulang.
  2. Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
  3. Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan merapikan pakaian.
  4. Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
  5. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan
  6. diluar rumah
  7. Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
  8. Mekanisme Koping

Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri)

  1. 11. Aspek Medik

Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,           Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.

 

  1. Masalah Keperawatan
    1. Isolasi sosial : menarik diri
    2. Perubahan sensori persepsi : halusinasi
    3. Kekerasan, resiko tinggi
    4. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
    5. Motivasi perawatan diri kurang
    6. Defisit perawatan diri
    7. Koping keluarga inefektif : ketidak mampuan keluarga untuk merawat klien di rumah (Keliat,B.A,2005:201)

III. Pohon Masalah

Resiko perubahan sensori persepsi : Halusinasi

Isolasi Sosial

Core problem

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

 

  1. I Diagnosa Keperawatan
  2. Isolasi sosial : menarik diri
  3. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
  4. Resiko perubahan persepsi sensori : Halusinasi

(Kelliat,2005)

  1. STRATEGI PELAKSANAAN

Dx  : Isolasi sosial : Menarik diri

Pasien

SP I p

  1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
  2. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
  3. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
  4. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
  5. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian

SP II p

  1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
  2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang
  3. Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian

SP III p

  1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
  2. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua orang atau lebih
  3. Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian

Keluarga

SP I k

  1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat psien
  2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya
  3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial

SP II k

  1. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat pasien dengan isolasi sosialaskep isolasi sosial
  2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada psien isolasi sosial

SP III k

  1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat (discharge planning)
  2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

askep meningitis

Posted: January 27, 2014 in Uncategorized

makalah askep meningitis

makalah anatomi fisiologi kulit

Posted: January 27, 2014 in Uncategorized

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Pemahaman tentang anatomi dan fisiologi kulit akan membantu mempermudah perawatan kulit untuk mendapatkan kulit wajah yang segar, lembab, halus, lentur dan bersih. Luas kulit pada manusia rata-rata  + 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak atau beratnya sekitar 16 % dari berat badan seseorang.

Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet.

Kulit merupakan suatu kelenjar holokrin  yang cukup besar dan seperti jaringan tubuh lainnya, kulit juga bernafas (respirasi), menyerap oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Kulit menyerap oksigen yang diambil lebih banyak dari aliran darah, begitu pula dalam pengeluaran karbondioksida.  Kecepatan penyerapan oksigen ke dalam kulit dan pengeluaran karbondioksida dari kulit tergantung pada banyak faktor di dalam maupun di luar kulit, seperti temperatur udara atau suhu, komposisi gas di sekitar kulit, kelembaban udara, kecepatan aliran darah ke kulit, tekanan gas di dalam darah kulit, penyakit-penyakit kulit, usia, keadaan vitamin dan hormon di kulit, perubahan dalam metabolisme sel kulit dan pemakaian bahan kimia pada kulit.

Sifat-sifat anatomis dan fisiologis kulit di berbagai daerah tubuh berbeda. Sifat-sifat anatomis yang khas, berhubungan erat dengan tuntutan-tuntutan faali yang berbeda di masing-masing daerah tubuh, seperti halnya kulit di telapak tangan, telapak kaki, kelopak mata, ketiak dan bagian lainnya merupakan pencerminan penyesuaiannya kepada fungsinya di masing-masing tempat. Kulit di daerah-daerah tersebut berbeda ketebalannya, keeratan hubungannya dengan lapisan bagian dalam, dan berbeda pula dalam jenis serta banyaknya andeksa yang ada di dalam lapisan kulitnya. Pada permukaan kulit terlihat adanya alur-alur atau garis-garis halus yang membentuk pola yang berbeda di berbagai daerah tubuh serta bersifat khas bagi setiap orang, seperti yang ada pada jari-jari tangan, telapak tangan dan telapak kaki atau dikenal dengan pola sidik jari (dermatoglifi).

 

  1. B.       Tujuan
    1. Mahasiswa mampu memahami tentang definisi kulit
    2. Mahasiswa mampu memahami tentang struktur kulit
    3. Mahasiswa mampu memahami tentang fungsi-fungsi kulit

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. A.      Pengertian Kulit

Kulit merupakan salah satu organic terbesar dari tubuh dimana kulit membentuk 15% dari berat badan keseluruhan. Kulit mempunyai daya regenerasi yang besar, misalnya jika kulit terluka, maka sel-sel dalam dermis melawan infeksi lokal kafiler dan jaringan ikat akan mengalami regenerasi epitel yang tumbuh dari tepi luka menutupi jaringan ikat yang beregenerasi sehingga membentuk jaringan parut yang pada mulanya berwarna kemerahan karena meningkatnya jumlah kafiler dan akhirnya berubah menjadi serabut kolagen keputihan yang terlihat melalui epitel.

 

  1. B.       Struktur Kulit

Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu :  kulit ari (epidermis), sebagai lapisan yang paling luar,  kulit jangat (dermis, korium atau kutis), dan  jaringan penyambung di bawah kulit (tela subkutanea, hipodermis atau subkatis).

 

 

  1. 1.      Kulit Ari (epidermis)

Epidermis merupakan bagian kulit paling luar yang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa yang bertingkat yang mengalami keratinisasi yang tidak memiliki pembuluh darah. Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimeter pada telapak tangan dan telapak kaki, dan yang paling tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi dan perut.  Sel-sel epidermis disebut  keratinosit. Epidermis melekat erat pada dermis karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis.  Pada epidermis dibedakan atas lima lapisan kulit, yaitu :

  1. Lapisan tanduk (stratum corneum), merupakan lapisan epidermis paling atas, dan menutupi semua lapisan epiderma lebih ke dalam. Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel pipih, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan tanduk sebagian besar terdiri atas keratin yaitu sejenis protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia, dikenal dengan lapisan  horny.  Lapisan  horny, terdiri dari milyaran sel pipih yang mudah terlepas dan digantikan sel  baru setiap 4 minggu, karena usia setiap sel biasanya 28 hari. Pada saat terlepas, kondisi kulit terasa sedikit kasar. Proses pembaruan lapisan tanduk, terus berlangsung sepanjang hidup, menjadikan kulit ari memiliki  self repairing capacity atau kemampuan memperbaiki diri. Dengan bertambahnya usia, proses keratinisasi berjalan lebih lambat. Ketika usia mencapai  sekitar  60-tahunan, proses keratinisasi membutuhkan waktu sekitar 45-50 hari, akibatnya lapisan tanduk yang sudah menjadi kasar, lebih kering, lebih tebal, timbul bercak putih karena melanosit lambat bekerjanya dan penyebaran melanin  tidak lagi merata serta tidak lagi cepat digantikan oleh lapisan tanduk baru. Daya elastisitas kulit pada lapisan ini sangat kecil, dan lapisan ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya penguapan air dari lapis-lapis kulit lebih dalam sehingga mampu memelihara tonus dan turgor kulit. Lapisan tanduk memiliki daya serap air yang cukup besar.
  2. Lapisan bening (stratum lucidum) disebut juga lapisan barrier, terletak tepat di bawah lapisan tanduk, dan dianggap sebagai penyambung lapisan tanduk dengan lapisan berbutir. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih yang kecil-kecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati sinar (tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan bening.
  3. Lapisan berbutir (stratum granulosum) tersusun oleh sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang mengandung butir-butir dalam protoplasmanya, berbutir kasa dan berinti mengkerut. Lapisan ini paling jelas pada kulit telapak tangan dan kaki.
  4. Lapisan bertaju (stratum spinosum) disebut juga lapisan malphigi terdiri atas sel-sel yang saling berhubungan dengan perantaraan jembatan-jembatan protoplasma berbentuk kubus. Jika sel-sel lapisan saling berlepasan, maka seakan-akan selnya bertaju. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Sel-sel pada lapisan taju normal, tersusun menjadi beberapa baris. Bentuk sel berkisar antara bulat ke bersudut banyak (polygonal), dan makin ke arah permukaan kulit makin besar ukurannya. Di antara sel-sel taju terdapat celah antar sel halus yang berguna untuk peredaran cairan jaringan ekstraseluler dan pengantaran butir-butir melanin. Sel-sel di bagian lapis taju yang lebih dalam, banyak yang berada dalam  salah satu tahap mitosis. Kesatuan-kesatuan lapisan taju mempunyai susunan kimiawi yang khas; inti-inti sel dalam bagian basal lapis taju mengandung kolesterol, asam amino dan glutation.
  5. Lapisan benih (stratum germinatifum atau stratum basale) merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh satu baris sel torak (silinder) dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan dermis.  Alas  sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu dengan lamina basalis di bawahnya. Lamina basalis yaitu struktur halus yang membatasi epidermis dengan dermis. Pengaruh lamina basalis cukup besar terhadap pengaturan metabolisme demoepidermal dan fungsi-fungsi vital kulit. Di dalam lapisan ini sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel tadi bergeser ke lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel tanduk. Di dalam lapisan benih terdapat pula sel-sel bening (clear cells, melanoblas  atau  melanosit) pembuat pigmen melanin kulit.

 

 

 

  1. 2.      Kulit Jangat (dermis)

Kulit jangat atau  dermis  menjadi tempat ujung saraf perasa,  tempat keberadaan kandung rambut, kelenjar keringat, kelenjar-kelenjar palit atau kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh darah dan getah bening, dan otot penegak rambut (muskulus arektor pili). Sel-sel umbi rambut yang berada di dasar kandung rambut, terus-menerus membelah dalam membentuk batang rambut. Kelenjar palit yang menempel di saluran kandung rambut, menghasilkan minyak yang mencapai permukaan kulit melalui muara kandung rambut.

Kulit jangat sering disebut kulit sebenarnya dan 95 % kulit jangat membentuk ketebalan kulit. Ketebalan rata-rata kulit jangat diperkirakan antara 1-2 mm dan yang paling tipis terdapat di kelopak mata serta yang paling tebal terdapat di telapak tangan dan telapak kaki. Susunan dasar kulit jangat dibentuk oleh serat-serat, matriks interfibrilar yang menyerupai selai dan sel-sel. Keberadaan ujung-ujung saraf perasa dalam kulit jangat, memungkinkan membedakan berbagai rangsangan dari luar.  Masing-masing saraf perasa memiliki fungsi tertentu, seperti saraf dengan fungsi mendeteksi rasa sakit, sentuhan, tekanan, panas, dan dingin. Saraf perasa juga memungkinkan segera bereaksi terhadap hal-hal yang dapat merugikan diri kita. Jika kita mendadak  menjadi sangat takut atau sangat tegang, otot penegak rambut yang menempel di kandung rambut, akan mengerut dan menjadikan bulu roma atau bulu kuduk berdiri.

Kelenjar palit yang menempel di kandung rambut memproduksi minyak untuk melumasi permukaan kulit dan batang rambut. Sekresi minyaknya dikeluarkan melalui muara kandung rambut. Kelenjar keringat menghasilkan cairan keringat yang dikeluarkan ke permukaan kulit melalui pori-pori kulit. Di permukaan kulit, minyak dan keringat membentuk lapisan pelindung yang disebut acid mantel atau sawar asam dengan nilai pH sekitar 5,5.  sawar asam merupakan penghalang alami yang efektif dalam menangkal berkembang biaknya jamur, bakteri dan berbagai jasad renik lainnya di permukaan kulit. Keberadaan dan keseimbangan nilai pH, perlu terus-menerus dipertahankan dan dijaga agar jangan sampai menghilang oleh pemakaian kosmetika. Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat elastis yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula dan serat protein ini yang disebut kolagen.

Serat-serat kolagen ini disebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya adalah membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan kelenturan kulit. Berkurangnya protein akan menyebabkan kulit menjadi kurang elastis dan mudah mengendur hingga timbul kerutan. Faktor lain yang menyebabkan kulit berkerut yaitu faktor usia atau kekurangan gizi. Dari fungsi ini tampak bahwa kolagen mempunyai peran penting bagi kesehatan dan kecantikan kulit.

Perlu diperhatikan bahwa luka yang terjadi di kulit jangat dapat menimbulkan cacat permanen, hal ini disebabkan kulit jangat tidak memiliki kemampuan memperbaiki diri sendiri seperti yang dimiliki kulit ari. Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu kelenjar keringat dan kelenjar palit.

  1. a.     Kelenjar keringat

Kelenjar keringat terdiri dari  fundus  (bagian yang melingkar) dan  duet  yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan kulit, membentuk  pori-pori keringat.  Semua bagian tubuh dilengkapi dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat di permukaan telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh.  Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu.  Ada dua jenis kelenjar keringat yaitu :

1)      Kelenjar keringat ekrin, kelenjar keringat ini mensekresi cairan jernih, yaitu keringat yang mengandung 95 – 97 % air Dan mengandung beberapa mineral, seperti garam, sodium klorida, granula minyak, glusida dan sampingan dari metabolisma seluler. Kelenjar keringat ini terdapat di seluruh kulit, mulai dari telapak tangan dan telapak kaki sampai ke kulit kepala. Jumlahnya di seluruh badan sekitar dua juta dan menghasilkan 14 liter keringat dalam waktu 24 jam pada orang dewasa. Bentuk kelenjar keringat  ekrin langsing, bergulung-gulung dan salurannya bermuara langsung pada permukaan kulit yang tidak ada rambutnya.

2)      Kelenjar keringat apokrin, yang hanya terdapat di daerah ketiak, puting susu, pusar, daerah kelamin dan daerah sekitar dubur (anogenital) menghasilkan cairan yang agak kental, berwarna keputih-putihan serta berbau khas pada setiap orang. Sel kelenjar ini mudah rusak dan sifatnya alkali sehingga dapat menimbulkan bau. Muaranya berdekatan dengan muara kelenjar sebasea pada saluran folikel rambut. Kelenjar keringat apokrin jumlahnya tidak terlalu banyak dan hanya sedikit cairan yang disekresikan dari kelenjar ini. Kelenjar apokrin mulai aktif setelah usia akil baligh dan aktivitasnya dipengaruhi oleh hormon.

  1. b.     Kelenjar palit 

Kelenjar palit terletak  pada bagian atas kulit jangat berdekatan dengan kandung rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan rambut. Kelenjar palit membentuk sebum atau urap kulit. Terkecuali pada telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar palit terdapat di semua bagian tubuh terutama pada bagian muka.

Pada umumnya, satu batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar palit atau kelenjar sebasea yang bermuara pada saluran folikel rambut. Pada kulit kepala, kelenjar palit  menghasilkan minyak untuk melumasi rambut dan kulit kepala. Pada kebotakan orang dewasa, ditemukan bahwa kelenjar palit atau kelenjar sebasea membesar sedangkan folikel rambut mengecil. Pada kulit badan termasuk pada bagian wajah, jika produksi minyak dari kelenjar palit atau kelenjar sebasea berlebihan, maka kulit akan lebih berminyak sehingga memudahkan timbulnya jerawat.

 

 

  1. 3.      Jaringan penyambung (jaringan ikat) bawah kulit (hipodermis)

Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan limfe, saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit. Cabang-cabang dari pembuluh-pembuluh dan saraf-saraf menuju lapisan kulit jangat. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organ-organ tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh  dan sebagai cadangan makanan. Ketebalan dan kedalaman jaringan lemak bervariasi sepanjang kontur tubuh, paling tebal di daerah pantat dan paling tipis terdapat di kelopak mata. Jika usia menjadi tua, kinerja liposit dalam jaringan ikat bawah kulit juga menurun. Bagian tubuh yang sebelumnya berisi banyak lemak,  akan berkurang lemaknya dan akibatnya kulit akan mengendur serta makin kehilangan kontur.

 

  1. C.      Fungsi Kulit

Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut :

  1. Pelindung atau proteksi

Ada beberapa kemampuan perlindungan dari kulit, yaitu :

  1. Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan-jaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh   dari pengaruh-pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman.
  2. Lapisan paling luar dari kulit ari diselubungi dengan lapisan tipis  lemak, sehingga kulit adalah relatif tidak tembus air, dalam arti bahwa menghindarkan hilangnya cairan dari jaringan dan juga menghindarkan masuknya air, sehingga tidak terjadi penarikan dan kehilangan cairan
  3. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh serta mengandung pigmen melanin yang melindungi kulit terhadap sinar ultraviolet dari matahari.

 

  1. Peraba atau Penerima rangsangan

Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsangan sensorik yang berhubungan dengan sakit atau nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, getaran dan lain-lain. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf sensasi.

 

  1. Pengatur panas atau thermoregulas

Kulit mengatur  suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap kira-kira 98,6 derajat Farenheit atau sekitar 36,5 C. Ketika terjadi perubahan pada suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing. Pengatur panas adalah salah satu fungsi kulit sebagai organ antara tubuh dan lingkungan. Panas akan hilang dengan penguapan keringat. Pengaturan ini dapat berlangsung melalui mekanisme adanya persyarafan vaso motorik yang mengendalikan arteriol kutan dengan dua cara yaitu :

–     Vasodilatasi, kulit melebar, kulit menjadi panas, kelebihan panas dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan cairan pada permukaan tubuh.

–     Vasokontriksi, pembuluh darh mengkerut, kulit pucat dan dingin, hilangnya keringat dibatasi Dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan.

  1. Pengeluaran (ekskresi)

Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar-kelenjar keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya.  Air  yang dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak disadari.

 

  1. Sebagai Tempat Penyimpanan

Kulit beraksi sebagai alat penampung air Dan lemak, yang dapat melepaskannya bilamana diperlukan. Kulit Dan jaringan di bawahnya bekerja sebagai tempat penyimpanan air, jaringan adipose di bawah kulit merupakan tempat penyimpanan lemak yang utama pada tubuh.

 

  1. Sebagai Alat Absorbsi

Kulit dapat menyerap zat-zat  tertentu, terutama zat-zat  yang larut dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis. Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.

 

  1. Penunjang penampilan

Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan . Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi seseorang seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot penegak rambut.

 

  1. D.      Warna Kulit

Warna kulit sangat beragam, dari yang berwarna putih mulus, kuning, coklat, kemerahan atau hitam. Setiap warna kulit mempunyai keunikan tersendiri yang jika dirawat dengan baik dapat menampilkan karakter yang menarik. Warna kulit terutama ditentukan oleh :

  1. Oxyhemoglobin yang berwarna merah
  2. Hemoglobin tereduksi yang berwarna merah kebiruan
  3. Melanin yang berwarna coklat
  4. Keratohyalin yang memberikan penampakan opaque pada kulit, serta
  5. Lapisan stratum corneum yang memiliki warna putih kekuningan atau keabu-abuan.

 

Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit, yang paling menentukan warna kulit adalah pigmen melanin. Pigmen melanin dalam kulit ditentukan oleh factor ras, individu, dan lingkungan. Melanin dibuat dari tirosi sejenis asam amino dan dengan oksidasi, tirosin diubah menjadi butir-butir melanin yang berwarna coklat. Untuk proses ini perlu adanya enzim tirosinase dan oksigen. Oksidasi tirosin menjadi melanin berlangsung lebih lancar pada suhu yang lebih tinggi atau di bawah sinar ultra violet. Jumlah, tipe, ukuran dan distribusi pigmen melanin ini akan menentukan variasi warna kulit berbagai golongan ras atau bangsa di dunia.  Proses pembentukan   pigmen melanin kulit terjadi pada butir-butir melanosom yang dihasilkan oleh   sel-sel melanosit yang terdapat di antara sel-sel basal keratinosit di dalam lapisan benih.

 

  1. E.       Jenis-Jenis Kulit

Upaya untuk perawatan kulit secara benar dapat dilakukan dengan    terlebih dahulu harus mengenal jenis-jenis kulit dan cirri atau sifat-sifatnya   agar dapat menentukan cara-cara perawatan yang tepat, memilih kosmetik yang sesuai, menentukan warna untuk tata rias serta untuk menentukan tindakan koreksi baik dalam perawatan maupun dalam tata rias. Kulit yang sehat memiliki ciri :

  1. Kulit memiliki kelembaban cukup, sehingga terlihat basah atau berembun
  2. Kulit senantiasa kenyal dan kencang
  3. Menampilkan kecerahan warna kulit yang sesungguhnya
  4. Kulit terlihat mulus, lembut dan bersih dari noda, jerawat atau jamur
  5. Kulit terlihat segar dan bercahaya, dan
  6. Memiliki sedikit kerutan sesuai usia.

 

Pada umumnya jenis kulit manusia dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Kulit Normal

Kulit normal cenderung mudah dirawat. Kelenjar minyak (sebaceous gland) pada kulit normal biasanya ‘tidak bandel’, karena minyak (sebum) yang dikeluarkan seimbang, tidak berlebihan ataupun kekurangan. Meski demikian, kulit normal tetap harus dirawat agar senantiasa bersih, kencang, lembut Dan segar. Jika tidak segera dibersihkan, kotoran pada kulit normal dapat menjadi jerawat. Selain itu kulit yang tidak terawat akan mudah mengalami penuaan dini seperti keriput dan tampilannya pun tampak lelah. Ciri-ciri kulit normal adalah kulit lembut, lembab berembun, segar, bercahaya, halus dan mulus,   tanpa jerawat, elastis, serta tidak terlihat minyak yang berlebihan juga tidak terlihat kering.

 

  1. Kulit Kering

Kulit kering memiliki ciri-ciri : kulit halus tetapi mudah menjadi kasar, mudah merekah dan terlihat kusam karena gangguan proses keratinisasi kulit ari, tidak terlihat  minyak berlebihan di daerah T yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi kelenjar keringat dan   kelenjar palit atau kelenjar minyak. Ciri lainnya yaitu mudah timbul kerutan yang disebabkan oleh menurunnya elastisitas kulit Dan berkurangnya daya kerut otot-otot, mudah timbul noda hitam, mudah bersisik, riasan yang dikenakan tidak mudah luntur, reaktivitas dan kepekaan dinding pembuluh darah terhadap rangsangan-rangsangan   berkurang sehingga peredaran darah tidak sempurna dan kulit akan tampak pucat, suram dan lelah.

 

 

  1. Kulit Berminyak

Kulit berminyak banyak dialami oleh wanita di daerah tropis. Karena pengaruh hormonal, kulit berminyak biasa dijumpai pada remaja puteri usia sekitar 20 tahunan, meski ada juga pada wanita usia 30-40 tahun yang mengalaminya. Penyebab kulit berminyak adalah karena kelenjar minyak (sebaceous gland) sangat produktif, hingga tidak  mampu mengontrol jumlah minyak (sebum) yang harus dikeluarkan. Sebaceaous gland  pada kulit berminyak yang biasanya terletak di lapisan   dermis, mudah terpicu untuk bekerja lebih  aktif. Pemicunya dapat berupa faktor internal atau faktor eksternal, yaitu :

  1. Faktor internal meliputi :
  2. Faktor genetis : anak  dari orang tua yang  memiliki jenis kulit berminyak, cenderung akan memiliki kulit berminyak pula.
  3. Faktor hormonal: hormon manusia sangat mempengaruhi   produksi keringat. Karena itulah pada wanita yang sedang menstruasi atau hamil akan lebih sering berkeringat. Selain itu stres dan banyak gerak juga dapat menjadi pemicu keringat berlebihan.
    1. Faktor eksternal meliputi :
    2. Udara panas atau lembab
    3. Makanan yang dapat merangsang keluarnya keringat seperti makanan yang terlalu pedas baik karena cabai atau merica, makanan yang terlalu asin, makanan yang berbumbu      menyengat seperti bawang putih, makanan yang terlalu berminyak serta makanan dan minuman yang terlalu panas.
  1. Kulit sensitif

Diagnosis kulit sensitif didasarkan atas gejala-gejala penambahan warna, dan reaksi cepat terhadap rangsangan. Kulit sensitif biasanya lebih tipis dari jenis kulit lain sehingga sangat peka terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan alergi (allergen). Pembuluh darah kapiler dan ujung saraf pada kulit sensitif  terletak sangat dekat dengan permukaan      kulit.  Jika  terkena  allergen, reaksinya pun sangat cepat. Bentuk-bentuk reaksi pada kulit sensitif biasanya berupa bercak merah, gatal, iritasi hingga luka yang jika tidak dirawat secara baik dan benar akan berdampak serius.

 

  1. Kulit campuran atau kulit kombinasi

Kulit kombinasi terjadi jika kadar  minyak di wajah tidak  merata. Pada bagian tertentu kelenjar keringat sangat aktif sedangkan daerah lain   tidak, karena itu perawatan kulit kombinasi memerlukan perhatian     khusus. Area kulit berminyak dirawat dengan perawatan untuk kulit berminyak dan di area kulit kering atau normal dirawat sesuai dengan jenis kulit tersebut. Kulit campuran memiliki ciri-ciri : kulit di daerah T berminyak  sedangkan  di daerah lain  tergolong normal atau justru kering atau juga sebaliknya. Di samping itu tekstur kulit sesuai jenisnya   yakni di area kulit berminyak akan terjadi penebalan dan di area normal atau kering akan lebih tipis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.      Kesimpulan

Kulit merupakan salah satu organic terbesar dari tubuh dimana kulit membentuk 15% dari berat badan keseluruhan. Kulit mempunyai daya regenerasi yang besar, misalnya jika kulit terluka, maka sel-sel dalam dermis melawan infeksi lokal kafiler dan jaringan ikat akan mengalami regenerasi epitel yang tumbuh dari tepi luka menutupi jaringan ikat yang beregenerasi sehingga membentuk jaringan parut yang pada mulanya berwarna kemerahan karena meningkatnya jumlah kafiler dan akhirnya berubah menjadi serabut kolagen keputihan yang terlihat melalui epitel.

Adapun struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu :  kulit ari (epidermis), sebagai lapisan yang paling luar,  kulit jangat (dermis, korium atau kutis), dan  jaringan penyambung di bawah kulit (tela subkutanea, hipodermis atau subkatis).

Fungsi kulit antara lain :

  1. Pelindung atau proteksi
  2. Peraba atau Penerima rangsangan
  3. Pengatur panas atau thermoregulas
  4. Pengeluaran (ekskresi)
  5. Sebagai Tempat Penyimpanan
  6. Sebagai Alat Absorbsi, dan
  7. Penunjang penampilan

 

  1. B.       Saran

Kulit merupakan bagian yang sangat penting untuk melindungi bagian organ dalamnya sehingga diperlukan perhatian yang cukup untuk menjaga kulit dengan melakukan perawatan serta mempertahankan kesehatannya.

 

 

askep dislokasi

Posted: October 31, 2013 in Uncategorized

Asuhan Keperawatan Pada sistem muskuloskletal dengan diagnosa   “Dislokasi”

 

Oleh :

Bukri Ardi Artana

 

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES YARSI MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI S1

2013-2014

 

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah atas rahmat dan karunianya sehingga kami apat meneyelesaikan makalah kami tentang “dislokasi” dapat diselesaikan dengan baik.

Makalah ini kami buat sebagai pedoman  atau panduan dalam ilmu keperwatan  bagi mahsiswa dan mahasisiwi ilmu keshatan khususnya  bagi mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu keperawatan medical bedah.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini untuk itu kami memngharapkan banyak – banyak masukan dan saran untuk perbaikan dalam penyusunan makalah brikutnya.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususya mahasiswa keperawatan.

Mataram , 28 -10-2013

 

 

Kelompok 5

 

 

DAFTAR ISI

 

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………..  

Kata pengantar  ……………………………………………………………………………    ii

Lembar pengesahan  ……………………………………………………………………     iii

AFTAR ISI …………………………………………………………………………………..    iv

BAB I PENDAHULUAN                                                                           

1.1    Latar Belakang ……………………………………………………………………….    1

1.2    Tujuan

          a.    Tujuan Umum ………………………………………………………………….    2

          b.    Tujuan Khusus …………………………………………………………………    2

1.3    Manfaat ……………………………………………………………     2

 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 

2.1        Pengertian dislokasi………… ………………………………………………….    3

2.2        Anatomi Fisiologi………………………………………………………………..    5

2.3        Klasifikasi …………………………………………………………………………     6

2.4        Etiologi ……………………………………………………………………………..    6

2.5        Fatofisiologi………………………………………………………………………..               8

2.6        Manifestasi Klinis……………………………………………………………….     9

2.7        Tanda Dan Gejala………………………………………………………………..    9

2.8        Penataklasanaan …………………………………………………………………    9

2.9        Komplikasi ………………………………………………………………………..    10

 

BAB III KONSEP ASKEP ……………………………………………………………    11

BAB IV PENUTUP

3.1        Kesimpulan …………………………………………………………………………   21

3.2        Saran ………………………………………………………………………………….   22

DAFTAR PUSTAKA

 

   BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Dislokasi  atau luksasio adalah  kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplet / lengkap ( jeffrey m.spivak et al ,1999)  terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi,  Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.

Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.

Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan me lindungin beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menye diakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang.

Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa sehinggaTulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).

 

 

1.2 Tujuan

  1. tujuan umum

untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa “dislokasi “ 

 

  1. tujuan khusus

diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran  asuhan keperawatan meliputi :

1)      mampu memberikan gambaran tentang pengkajian kepada klien dengan dislokasi 

2)      mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan dislokasi

3)      mampu membuat rencana keperawatan pada klien dengan dislokasi

4)      mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan pada dislokasi

1.3  Manfaat

  1. Manfaat Bagi mahasiswa

Agar mahsiswa mengetahui dan memahami cara asuhan keperawatan muskluskletal dengan diagnosa dislokasi dengan cepat dan tanggap  dan meningkatkan potensi diri sehubungan dengan  penanggulangannya

  1. Manfaat bagi masyrakat

Agar masyarakat dapat mengethui tindakan atau  intervensi tentang dislokasi dengan cepat dan tanggap

  1. Manfaat bagi institusi pendidikan

Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa keperawatan dan menambah wawasan dalam hal pemahaman  perkembangan dan upaya  pencegahan  yang berhubungan dengan gangguan muskluskletal pada penderita dislokasi yang sebaiknya dimulai sedini mungkin

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1       Pengertian

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.

Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.

Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan,secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner & Suddarth)Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera.(Arif Mansyur, dkk. 2000)Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dis lokasi.( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138) Berpindahnya ujung tulang patah, karena tonus otot, kontraksi cedera dan tarikan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi sering di temukan pada orang dewasas dan jarang di temukan pada  anak –anak, biasanya klien jatuh dengan ekerasa dalam keadaan tangan out streched . bagian distal humerus terdorong ke depan melalui kapsul anterior .misalkan oada radius dan ulna mengalami dislokasi pada posterior oleh karna itu brakhialis yang mengalmi robekan pada proseus karanoid .

 

2.2       Antomi Fisologi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. a.      Histologi Tulang

Secara histologinya, pertumbuhan tulang di bagi dalam 2 jenis                              (Arif Musstaqin, 2008) yaitu

1)      Tulang imatur, terbentuk pada perkembangan emrional dan tidak terlihat lagi pada usia satu tahun. Tulang imatur mengandung jaringan kolagen.

2)      Tulang matur, ada 2 jenis yaitu tulang kortikal dan tulang trabekular.

  1. b.      Komponen Penyusun Tulang

                        Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun atas tiga jenis sel :

1)      Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas menyekresi sejumlah besar fosfatase alkali yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagai fosfatase dari alkali akan memasuki aliran darah sehingga kadar fosfatase alkali dalam darah dapat menjadi indicator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang.

2)      Osteosit adalah sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.

3)      Osteoklas adalah sel besar yang berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang diabsorpsi. Tidak seperti osteoblast dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel ini menghasilkan proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam aliran darah (Arif Mustaqqin, 2008).

      Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun  kurang lebih 25% berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Struktur tulang memberikan perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak, matriks tulang menyimpan kalsium, fosfor, magnesium dan flor. Lebih dari 99% kalsium tubuh total terdapat dalam tulang, sumsum tulang merah yang terletak dalam rongga tulang menghasilkan sel darah merah dan putih dalam proses yang dinamakan hematopoiesis. Kontraksi otot menghasilkan suatu usaha mekanik untuk gerakan maupun produksi panas untuk mempertahankan temperatur tubuh (Brunner & suddarth, 2002).

  1. c.       Fungsi Utama Tulang

Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyai fungsi utama yaitu :

1)      Membentuk rangka badan

2)      Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot

3)      Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam (seperti otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru).

4)      Sebagai tempat mengatur dan deposit kalsium, fosfat, magnesium, dan garam.

5)      Ruang ditengah tulang tertentu sebagai organ yang mempunyai fungsi tambahan lain, yaitu sebagai jaringan hemopoletik untuk memproduksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit (Arif Mustaqqin, 2008).

2.3       Klasifikasi

Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut

  1. Dislokasi congenital

Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan

  1. Dislokasi patologik

Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang

  1. Dislokasi traumatic.

Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :

1)      Dislokasi Akut

Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi

2)      Dislokasi Berulang.

Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.

2.4       Etiologi

Dislokasi terjadi saat ligarnen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normnal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).

Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan. Dan biasanya disebabkan oleh :

  1. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir
  2. Trauma akibat kecelakaan
  3. Trauma akibat pembedahan ortopedi
  4. Terjadi infeksi di sekitar sendi
  5. cedera olah raga

 

 

 

Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.

2.5      

Dislokasi patela

 

Trauma pada patela

 

Patofisiologi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

patofisiologi dislokasi dan fraktur  pada daerah  patela

2.6       Manifestasi Klinis

Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan segan menerima pemeriksaan apa saja .Garis gambar lateral bahu dapat rata dan ,kalau pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.

  1. Nyeri
  2. perubahan kontur sendi
  3. perubahan panjang ekstremitas
  4. kehilangan mobilitas normal
  5. perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
  6. deformitas
  7. kekakuan

 

2.7       Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaan kimia darah, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, hitung trombosit, urinalisasi,dan penentuan gula darh, BUM dan elektrolit

 

2.8       Tanda Dan Gejala

  1. Deformitas

1)        Hilangnya tonjolan tulang yang normal, misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu.

2)        Pemendekan astau pemanjangan (misalnya dislokasi anterior sendi panggul.

3)        Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu, misalnya dislokasi posterior sendi panggul kedudukan endorotasi, fleksi dan aduksi.

  1. Nyeri pada sekitaran sendi di akibatkan trauma
  2. Functio Laesa, misalnya bahu tidak darat endorotasi pada dislokasi anterior bahu

2.9       Penatalaksanaan

  1. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
  2. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi.
  3. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil.
  4. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi
  5. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.

 

2.10   Komplikasi

  1. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
  2. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
  3. Fraktur disloksi
    Komplikasi lanjut.

1)        Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi

2)        Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid

3)        Kelemahan otot

 

 

 

BAB III

KONSEP ASKEP

  1. 1.      PENGKAJIAN
    1. a.      Anamnesis

1)      Identitas klien meliputi nama ,jenis kelamin ,usia ,alamt ,agama ,bahasa yang digunakan ,stattus perkawinan ,pendidikan, pekerjaan,asuransi golongan darah ,nomor registrasi , tanggal dan jam masuk rumah sakit, (MRS) , dan diagnosis medis. Dengan fokus ,meliputi :

  • Umur , pada pasien lansia terjadi pengerasan tendon tulang sehingga menyebabkan fungsi tubuh bekerja secara kurang normal dan dislokasi cenderung terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak , biasanya klien jatuh dengan keras dalam keadaan strecth out
  • Pekerjaan

Pada pasien dislokasi biasanya di akibatkan oleh kecelkaan yang mengakibatkan trauma atau ruda paksa, biasaya terjadi pada klien yang mempunyai pekrjaan buruh bangunan. Seperti terjatuh , atupun kecelakaan di tempat kerja , kecelakaan industri  dan atlit olahraga, seperti pemain basket , sepak bola dll

  • Jenis kelamin

Dislokasi lebih sering di temukan pada anak laki – laki dari pada permpuan karna cenderung dari segi aktivitas yang berbeda .

 

2)     Keluhan utama

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri , kelemahan dan kelumpuhan ,ekstermitas , nyeri tekan otot , dan deformitas pada daerah trauma ,untuk mendapatkan pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien dapat menggunakan metode PQRS.

 

3)     Riwayat penyakit sekarang

Kaji adanya riwayat trauma akibat kecelakaan pada lalu lintas ,kecelekaan industri , dan kecelakaan lain ,seperti jatuh dari pohon atau bangunan , pengkajian yang di dapat meliputi nyeri , paralisis extermitras bawah , syok .

 

4)   Riwayat penyakit dahulu

Penyakit yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit ,seperti osteoporosis, dan osteoaritis yang memungkinkan terjadinya kelainan ,penyakit alinnya seeperti hypertensi ,riwayat cedera, diabetes milittus, penyakit jantung , anemia , obat-obat tertentu yang sering di guanakan klien , perlu ditanyakan pada keluarga klien .

 

5)    Pengkajian Psikososial dan Spiritual

Kaji bagaimana  pola interaksi klien terhadap orang – orang disekitarnya seperti hubungannya dengan keluarga, teman dekat, dokter, maupun dengan perawat.

  1. b.        Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien pemekrisaan fisik sangat berguna untuk mendukung pengkajian anamnesis sebaiknya dilakukan persistem B1-B6 dengan fokus pemeriksaan B3( brain ) dan B6 (bone)

 

 

 

1)      Keadaan umum

Klien yang yang mengalami cedera pada umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran ,periksa adanya perubahan tanda-tanda vital ,yang meliputi brikardia ,hipotensi dan tanda-tanda neurogenik syok.

2)      B3 ( brain)

–           Tingkat kesedaran pada pasien yang mengalami dislokasi adalah kompos mentis

–          Pemeriksaan fungsi selebral

Status mental :observasi penampilan ,tingkah laku gaya bicara ,ekspresi wajah aktivitas motorik klien .

–          Pemeriksaan saraf kranial

–          Pemeriksaan refleks .pada pemeriksaan refleks dalam ,reflecs achiles menghilang dan refleks patela biasanya meleamh karna otot hamstring melemah

3)      B6 (Bone)

–          Paralisis motorik ekstermitas terjadi apabila trauma juga mengompresi sekrum gejala gangguan motorik juga sesuai dengan distribusi segmental dan saraf yang terkena

–          Look ,pada insfeksi parienum biasanya di dapatkan adanya pendarahan ,pembengkakakn dan deformitas

–          Fell , kaji adanya derajat ketidakstabilan daerah trauma dengan palpasi pada ramus dan simfisi fubis

–          Move , disfungsi motorik yang paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan pada daerah ekstermitas.

  1. c.         Klasifikasi Data

1)      Data subjektif

a)        Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas

b)        Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat

c)        Klien mengatakan  terjadi kekauan pada sendi

d)       Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi    

e)        Klien mengatakan sangat lemas

f)          Klien bertanya-tanya tentang keadaannya

g)        Klien mengatakan susah bergerak

2)      Data objektif

a)        Klien nampak lemas

b)        Wajah nampak meringis

c)        Keterbatasan mobilitas

d)       Skala nyeri 6 (0-10)

e)        Klien nampak cemas

  1. d.        Analisa Data

Symptom

Etiologi

Problem

DS :

   Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas

   Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat

   Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi    

DO :

      Wajah Nampak meringis

   Skala nyeri 5 (0-10)

      Pembengkakan local

 

           Adanya trauma

Pergeseran frakmen tulang

Terputusnya kontinuitas tulang

                  Nyeri

Nyeri

DS :

   Klien mengatakan sangat lemas

   Klien mengatakan susah bergerak

   Klien mengatakan  terjadi kekauan pada sendi

DO :

      Klien nampak lemas

      Keterbatasan mobilitas

          Adanya trauma

 
   

 

Pergeseran frakmen tulang

 

Terputusnya kontinuitas tulang

 

  Nyeri

 
   

 

Kerusakan mobilitas fisik

Gangguan  mobilitas fisik

DS :

      Klien bertanya-tanya tentang penyakitnya

DO :

      Klien nampak cemas

Kurang terpaparnya informasi

 

Kurang pengetahuan

 
   

 

               Ansietas

Ansietas

 

 

  1. 2.      Diagnosa Keperawatan
    1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan
    2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi
    3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit

 

  1. 3.      INTERVENSI

NO

Diagnosa Keperawatan

Tujuan

Intervensi

Rasional

1.

–    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan

Rasa nyeri teratasi dengan

KH :

1.      Klien tampak tidak meringis lagi.

2.      Klien tampak rileks 

–          Kaji skala nyeri

 

 

–          Berikan posisi relakas  pada pasien

 

 

 

 

–   Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi

 

–          Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktifitas hiburan

 

–          Kolaborasi dengan dokter untuk   pemberian analgesic

–    Mengetahui intensitas nyeri.

 

 Posisi relaksasi pada pasien dapat mengalihkan focus pikiran pasien pada nyeri.

 

-Tehnik relaksasi dan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.

Meningkatkan relaksasi pasien

 

 

 

–    Analgesic Mengurangi nyeri

 

2.

–          Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi

 

–      Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.

 

 

KH :

–    melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)

–    menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal

–          Kaji tingkat mobilisasi pasien

 

 

–   

 

        

 

     Berikan latihan ROM

 

–    

 

 

 

 

 

    

     Anjurkan penggunaan alat Bantu jika diperlukan

Ø

 

      Monitor tonus otot

 

–     Membantu pasien untuk imobilisasi baik dari perawat maupun keluarga

 

   –    Menunjukkan tingkat mobilisasi pasien dan menentukan intervensi selanjutnya.

 

 

–    Memberikan latihan ROM kepada klien untuk mobilisasi

–    Alat bantu memperingan mobilisasi pasien

 

–    

  Gar mendapatkan data yang akurat

 

–    

 

 

 

 

   Dapat membnatu pasien untuk imobilisasi

 

3.

Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit

 

kecemasan pasien teratasi dengan KH :

1.   klien tampak rileks

2.klien tidak tampak bertanya – tanya

–    kaji tingakat ansietas klien

 

 

–  

 

      Bantu pasien mengungkapkan rasa cemas atau takutnya

 

–         

     Kaji pengetahuan Pasien tentang prosedur yang akan dijalaninya.

 

–  Berikan informasi yang benar tentang prosedur yang akan dijalani pasien

–   mengetahui tingakat kecemasan pasien dan menentukan intervensi selanjutnya.

–  

Mengali pengetahuan dari pasien dan mengurangi kecemasan pasien

 

–   agar perawat tau seberapa tingkat pengetahuan pasien dengan penyakitnya

 

–  Agar pasien mengerti tentang penyakitnya dan tidak cemas lagi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. 4.      IMPLEMENTASI

Dilaksanakan sesuai intervensi yang telah di rencanakan

  1. 5.      EVALUIASI

Setelah dilakukan tindakan selama  1x 24 jam di harapkan pasien  :

  1. Nyeri dapat berkurang ,skala nyeri 1-3  (  dengan  kriteria skala nyeri 0-10)
  2. Pasien dapat melakuakan mobilitas secara normal 
  3. Pasien tenang , tidak terlihat cemas  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.

Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.

Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan me lindungin beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menye diakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang.

            Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa sehinggaTulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).

 

 

 

 

3.2  Saran

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Doengoes, Mariliynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC

 

Brunner, Suddarth, (2001) Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 3, EGC : Jakarta

 

Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC : Jakarta.

 

Pamela L.swearingen , (2000) Keperawatan Medikal –Bedah .E/2, jakarta : egc 

 

Muttaqin.A , (2008) , Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal,Jakarta :EGC

http://www.slideshare.net/ardiartana/savedfiles?s_title=askep-dislokasi&user_login=septianraha

 

makalah Bell’s Palsy

Posted: June 1, 2013 in Uncategorized

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan facialis perifer akibat proses non supuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer tetapi sangat dimungkinkan akibat dari adanya oedema jinak pada bagian nervus facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramenstilomastoideus, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 1999).

Bell’s Palsy adalah suatu kelumpuhan akut nervus facialis perifer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini biasanya hanya mengenai satu sisi wajah (unilateral), tetapi dapat pula mengenai kedua sisi wajah yang sehat dengan bilateral Bell’s Palsy( Jimmi Sabirin, 1996).

Gambar 1.1 belpalsi

Sumber: http://images.lifescript.com

Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya akan sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa (Lumbantobing, 2006).

 

2.2        Anatomi Fungsional

a)  Nervus Facialis

Nervus Facialisterdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang terdiri dari:

(1)    Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus presentralis kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik di dahi dan orbikularis occuli.

(2)    Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari gyrus presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik bagian bawah dan platisma (Chusid, 1983).

(3)    Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan melingkari nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga diikuti dengan kelumpuhan nervus abducens. Setelah keluar dari batang otak, nervus facialisberjalan bersama nervus intermedius yang bersifat sensoris dan sekretorik. Selanjutnya berjalan berdekatan dengan nervus oktavus bersama-sama masuk ke dalam canalis austikus internus dan berjalan ke arah lateral, masuk ke canalis falopii (pars petrosa). Kemudian nervus facialismasuk ke dalam cavum timpani setelah membentuk ganglion genikulatum. Di dalam cavum timpani nervusfacialis membelok tajam ke arah posterior dan horizontal (pars timpani). Saraf ini berjalan tepat di atas foramen ovale, kemudian membelok tegak lurus ke bawah (genu eksternum) di dalam canalis falopii pars mastoidea. Bagian saraf yang berada didalam canalis falopii pars timpani disebut nervus facialispars horizontalis, sedang yang berjalan didalam pars mastoidea disebut nervus facialis pars vertikalis atau desenden. Saraf ini keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus. Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, syaraf ini bercabang-cabang dan berjalan di antara lobus superfisialis dan profundus glandula parotis dan berakhir pada otot-otot mimik di wajah.

 

Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang :

(1)        Dari ganglion genikulatum mengirimkan serabut saraf melalui  ganglion sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor yang akan menuju glandula lakrimalis.

(2)        Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah saraf petrosus superficialis minor yang melalui ganglion otikum membawa serabut sekreto-motorik ke kelenjar parotis.

(3)        Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang :

(a)  Saraf stapedius yang mensarafi m.stapedius. Kelumpuhan  saraf ini menyebabkan hiperakusis.

(b)  Saraf korda timpani yang menuju ⅔ lidah bagian depan dan berfungsi sensorik untuk perasaan lidah (rasa asam, asin dan manis). Selain itu saraf korda timpani juga mempunyai serabut yang bersifat sekreto-motorik yang menuju ke kelenjar liur submaksilaris dan sublingualis (Chusid, 1983)

 

 

 

 

 

 

b)   Otot-otot wajah           

Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1

Otot-Otot Wajah Beserta Fungsinya

No

Nama Otot

Fungsi

Persarafan

1

M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis

2

M.Corrugator supercili Mendekatkan kedua pangkal alis N. Zigomatikum dan

N.Temporalis

3

M.Procerus Mengerutkan kulit antara kedua alis N. Zigomatikum, N.Temporalis,

N. Buccal

4

M. Orbicularis Oculli Menutup kelopak mata N.Fasialis, N.Temporalis, N. Zigomatikus

5

M. Nasalis Mengembang

Kan cuping hidung

N. Fasialis

6

M. Depresor anguli oris Menarik ujung mulut ke bawah N. Fasialis

7

M. Zigomaticum mayor dan M. Zigomatikum minor Tersenyum N. Fasialis

8

M. Orbicularis oris Bersiul N. Fasialis

N. Zigomatikum

9

M. Buccinator Meniup sambil menutup mulut N. Fasialis,

N. Zigomatikum,

N. Mandibular,

N. Buccal

10

M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan

N. Buccal

11

M. Platysma Meregangkan kulit leher N. Fasialis

 

 

2.3      Etiologi

Menurut etiologi artinya ilmu tentang penyebab penyakit (Dachlan,2001). Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang penyebab Bell’s Palsy antara lain sebagai berikut:

a)  Teori Infeksi Virus Herpes Zoster

(a)      Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsyadalah karena adanya infeksi virus herpes zoster.Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atau Bell’s Palsy (Duus Peter, 1996).

(b)     Teori Iskemia Vaskuler

Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis.Kerusakan yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada sarafnya.Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis (Esslen, 1970).

(c)      Teori herediter

Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang disebabkan karena faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang bersifat menurun (Hamid, 1991).

(d)     Pengaruh udara dingin

Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau lumpuh.

 

2.4      Patofisiologi

patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara dingin yang menyebabkan Bell’s Palsy (Dachlan, 2001)

Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan oto-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.

PATHWAYS

Gambar 1.2 pathways belpalsi

Sumber: http://4.bp.blogspot.com

Gambar 1.3 facial nerve version

Sumber : http://api.ning.com

 

2.5      Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy adalah: adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan-gerakan volunter seperti, (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mecucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m. orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zygomaticus dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada ⅔ lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal-tebal di wajahnya.

Gambar 1.4Tanda dan gejala

http://t3.gstatic.com

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut (Chusid ,1983) adalah:

a)       Lesi diluar foramen stilomastoideus: Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah  menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.

b)       Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah ⅔ bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.

c)        Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenai muskulus stapedius: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas, ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).

d)       Lesi yang mengenai ganglion genikuli: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga poin diatas, disertai dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang telinga.

e)       Lesi di meatus akustikus internus: Tanda dan Gejala sama seperti  kerusakan pada ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis.

f)         Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons: Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus hypoglossus.

 

2.6                  Komplikasi

komplikasi atau complication berarti penyakit yang timbul kemudian sebagai tambahan pada penyakit yang sudah ada (Dachlan, 2001). Komplikasi yang muncul pada pasien Bell’s Palsy merupakan kumpulan gejala sisa paska terjadinya kelemahan otot-otot wajah. Lumbantobing (2006) menjelaskan bahwa beberapa di antara penderita Bell’s Palsy, kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa yang berupa kontraktur, sinkenesis dan spasme spontan.

Kontraktur terlihat jelas saat otot wajah berkontraksi yang ditandai dengan lebih dalamnya lipatan nasolabial dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang sehat. Sinkenesis (assosiated movement) dapat terjadi karena kesalahan proses regenerasi sehingga menimbulkan gerakan otot wajah yang berasosiasi dengan gerakan otot lain. Misalnya saat mata ditutup, sudut mulut ikut terangkat. Sedangkan spasme spontan pada otot wajah terjadi bila pasien Bell’s Palsy mengalami penyembuhan yang inkomplit. Otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis.

Gejala sisa yang ditimbulkan paska serangan Bell’s Palsy yaitu sindroma air mata buaya (crocodile tears syndrome)yang merupakan kesalahan regenerasi saraf salivarius menuju ke glandula lakrimalais. Manifestasinya berupa keluarnya air mata pada sisi lesi saat pasien makan (Djamil, 2003).

Clonic facial (hemificial spasm),Clonic facial spasm yaitu terjadinya gerakan secara spontan dari otot-otot wajah, baik pada sisi wajah yang lumpuh maupun pada sisi wajah yang sehat. Namun bila mengenai kedua sisi wajah maka tidak terjadi bersama-sama pada kedua sisi (Sabirin, 1996).

 

2.7      Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy kita harus mengetahui beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding untuk kasus ini, yaitu:

  1. Herpes Zoster Otikus

Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikuli.Gambaran penyakit ini dikuasai seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga.Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga (Sidharta, 1999).

  1.  Otitis Media Supurativa dan mastoiditis

Ostitis Media bisa menyebabkan paresis fasialis apabila terjadi kerusakan tulang yang mendidingi kanalis fasialis. Dan keadaan ini selalu menimbulkan nyeri di dalam kepala ( Sidharta, 1999).

 

  1. Trauma

Trauma juga dapat menimbulkan paresis fasialis, hal ini terutama terjadi pada kondisi trauma capitis, yang hampir selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur os temporal yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rongent. Perdarahan dan likwor mengiringi paresis fasialis perifer traumatik (Sidharta,1999).

  1. Facial palsy tipe sentral

Pada kelumpuhan wajah tipe ini terliht jelas bahwa otot-otot bagian bawah tampak lebih lumpuh dari pada bagian atasnya. Sudut mulut sisi yang lesi terlihat lebih rendah, lipatan nasolabial sisi yang lumpuh lebih mendatar, otot wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti selain itu juga tidak dijumpai adanya tanda dari bell (Sidharta,1999).

  1. Sindroma Guillain Barre dan Miastenia Gravis

Pada kedua penyakit ini, paresis fasialis hampir selamanya bilateral.Perjalanan kedua penyakit ini adalah khas.Lagi pula, pada kedua penyakit itu kelumpuhan otot wajah tidak berdiri sendiri.Otot-otot bulber dan otot-otot okuler sering timbul bersama-sama dengan paresis fasialis.

2.8      Prognosis dan Pengobatan

yang berhubungan dengan penyakit, untuk timbul lagi atau mungkin berakhir sembuh (Dachlan, 2001). Prognosis Bell’s Palsykesembuhan akan terjadi dalam waktu 2 – 8 minggu untuk pasien yang muda dan pasien Prognosis berarti ramalan klinis mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang lebih tua sampai 1-2 tahun. Menjaga agar muka tetap hangat dan selanjutnya hindarkan agar tidak terbuka, terutama terhadap angin dan debu. Lindungi mata dengan kasa steril kalau perlu. Muka dapat ditahan dengan mengaitkan pita atau kawat pada sudut mulut dan diikatkan sekitar telinga. Stimulasi listrik sesudah hari keempat belas dapat dikerjakan untuk membantu mencegah atrofi otot. Lakukan massage perlahan-lahan kearah atas pada otot-otot yang terkena selama 5-10 menit, dua-tiga kali sehari, untuk menjaga tonus otot. Pemanasan dengan memakai lampu inframerah dapat mempercepat penyembuhan. Pada sebagian besar kasus, akan terjadi kesembuhan lengkap atau partial. Kalau kesembuhannya partial, dapat timbul kontraktur pada sisi yang lumpuh. Kambuhnya penyakit di sisi yang lain kadang-kadang dilaporkan (Chusid, 1983).

 

2.9      Fisioterapi

Modalitas yang dipilih untuk mengurangi problematika fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy karena pengaruh udara dingin Electrical Stimulation dan Massage.

  1. 1.        Electrical Stimulation dengan Arus Faradik

a)     Definisi

Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak simetris yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik (Akademi Fisioterapi Surakarta, 1998).

b)    Fisika dasar arus faradik

Istilah faradik mula-mula digunakan untuk arus yang keluar dari faradik coil, suatu induction coil.Arus ini merupakan bolak-balik yang tidak simetris.Tiap cycle terdiri dari dua fase yang tidak sama. Fase pertama dengan intensitas rendah dan durasi panjang, sedang fase kedua intensitas tinggi dan durasi pendek. Berfrekwensi sekitar 50 cycle/detik. Durasi fase kedua sekitar 1 milisecond (0,001 detik).

c)     Modifikasi

Arus faradik pada umumnya dimodifikasi dalam bentuk surged atau interupted (terputus-putus). Bentuk surged faradik dapat diperoleh dari mesin-mesin modern. Pengontrol durasi surged sebaiknya terpisah dengan pengontrol interval sehingga diperoleh kontraksi yang efektif dari masing-masing penderita. Bentuk – bentuk surged juga bermacam-macam antara lain trapezoid, trianguler, saw tooth dan sebagainya.

d)    Efek fisiologis

Efek fisiologis terhadap sensoris akan menimbulkan rasa tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal, sedangkan efek terhadap motorik adalah kontraksi tetanik yang akan lebih mudah menimbulkan kontraksi. Arus faradik lebih enak bagi pasien karena durasinya pendek.

e)    Efek terapeutik

(1)  Fasilitasi  kontraksi otot.

Apabila otot mengalami kesulitan untuk mengadakan  kontraksi, stimulasi elektris dapat membantunya terutama kontraksi otot yang terhambat oleh nyeri atau injury yang baru, dimana stimulasi dapat memberikan fasilitas lewat mekanisme muscle spindel.

(2)  Mendidik kembali kerja otot

Stimulasi faradik diberikan untuk mendapatkan kontraksi dan membantu memperbaiki perasaan gerak. Otot hanya mengenal gerak, sehingga stimulasi diberikan untuk menimbulkan gerakan yang normal. Stimulasi ini merupakan permulaan latihan-latihan aktif.

(3)  Melatih otot-otot yang paralysis

Pada kasus saraf perifer, impuls dari otak tidak sampai pada otot yang disarafi.Akibatnya kontraksi voluntari hilang. Apabila saraf belum mengalami degenerasi, stimulasi dengan arus faradik disebelah distal kerusakan akan menimbulkan kontraksi. Dengan demikian stimulasi dengan arus faradik dapat digunakan untuk melatih otot-otot yang paralisis.

(4)  Penguatan dan hypertrofi otot-otot

Untuk mendapatkan penguatan dan hypertrofi, otot perlu berkontraksi dalam jumlah yang cukup serta beban (tahanan).Kelenturan-kelenturan tersebut harus dipenuhi bila stimulasi dimaksudkan untuk penguatan.Apabila suatu otot sangat lemah berat dari bagian tubuh yang bergerak memberikan cukup beban.Dalam hal ini stimulasi dapat meningkatkan kekuatan otot.

(5)  Memperbaiki aliran darah dan lymfe

Aliran darah dapat dipelancar oleh adanya pemompaan dari otot yang berkontraksi dan relaksasi. Efek yang ditimbulkan akan diperoleh secara maksimal dengan menggunakan arus faradik.

(6)  Mencegah dan melepaskan perlengketan jaringan

Apabila terjadi offusi kedalam jaringan maka perlengketan jaringan akan mudah terjadi. Perlengketan tersebut dapat dicegah dengan selalu mengerakan struktur-struktur didaerah tersebut. Jika latihan latihan-latihan aktif tidak dimungkinkan, stimulation electrical dapat diberikan. Perlengketan yang telah terjadi dapat dibebankan dan diulur dengan kontraksi otot (Akademi Fisioterapi Surakarta, 1998).

f)      Metode pelaksanaan arus faradik

(1)  Stimulasi secara group

Pada metode ini semua otot dari suatu group otot berkontraksi bersama. Satu elektrode dipasang pada nerve trunk atau daerah origo, sedangkan satu lagi dipasang pada daerah motor point atau ujung dari muscle belly. Semua otot dari grup otot berkontraksi bersama sehingga sangat efektif untuk mendidik otot yang bekerja secara group.

(2)  Stimulasi motor point

Keuntungan menggunakan metode motor point adalah masing-masing otot berkontraksi sendiri-sendiri dan kontraksinya optimal. Sedangkan kerugian metode ini ialah apabila otot yang dirangsang banyak, maka sulit untuk mendapatkan jumlah kontraksi yang cukup untuk masing-masing otot.

2.Massage

a)     Definisi

Massage adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan  suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan yang ditujukan pada jaringan lunak tubuh, untuk tujuan mendapatkan efek baik pada jaringan saraf, otot, maupun sirkulasi(Gertrude, 1952).

b)     Teknik-teknik massage

Ada beberapa teknik massage, seperti: stroking, effleurage, petrissage, kneading, finger kneading, picking up, tapping, friction dan tapotemen (hacking, claping, beating, pounding). Pada kasus Bell’s Palsy teknik massage yang diberikan yaitu stroking, effleurage, finger kneading dan tapping.             Stroking atau gosokan ringan adalah manipulasi yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan satu atau permukaan kedua belah tangan dan arah gerakannya tidak tentu. Efek stroking adalah penenangan dan mengurangi rasa nyeri.(Tappan, 1988)

Effleurage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan, sebaiknya diberikan dari dagu ke atas ke pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Ini harus dikerjakan secara gentle dan menimbulkan rangsangan pada otot-otot wajah. Efek dari effleurage adalah membantu pertukaran zat-zat dengan mempercepat peredaran darah dan limfe yang letaknya dangkal, menghambat proses peradangan.

Finger kneading adalah pijatan yang dilakukan dengan jari-jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot wajah yang terkena lesi dengan arah gerakan menuju ke telinga. Efek dari finger kneading adalah memperbaiki peredaran darah  dan memelihara tonus otot.

Tapping adalah manipulasi yang diberikan dengan tepukan yang ritmis dengan kekuatan tertentu, untuk daerah wajah dilakukan dengan ujung-ujung jari. Efek dari tapping adalah merangsang jaringan dan otot untuk berkontraksi.

c)      Aplikasi massage

Pemberian massage wajah pada kondisi Bell’s Palsy bertujuan untuk mencegah terjadinya perlengketan jaringan dengan cara memberikan penguluran pada jaringan yang superfisial yakni otot-otot wajah. Dengan pemberian massagewajah ini akan terjadi peningkatan vaskularisasi dengan mekanisme pumping action pada vena sehingga memperlancar sirkulasi darah dan limfe. Efek rileksasi dapat dicapai dan elastisitas otot dapat tetap terpelihara serta mencegah timbulnya perlengketan jaringan dan kontraktur otot dapat dicegah  (Douglas, 1902).Massage dilakukan selama 5-10 menit, 2-3 kali sehari. Massage ini membantu mempertahankan tonus otot wajah agar tidak kaku (Chusid 1983).

d)     Indikasi Massage

Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage, antara lain: spasme otot, nyeri, oedema, kasus-kasus perlengketan jaringan, kelemahan otot jaringan, dan kasus- kasus kontraktur.

e)     Kontra Indikasi Massage

Masssage tidak selalu dapat diberikan pada semua kasus, ada beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian massage, yaitu: darah yang mengalami infeksi, penyakit-penyakit dengan ganguan sirkulasi, seperti: tromboplebitis, arteriosclerosis berat, adanya tumor ganas, daerah peradangan akut, jerawat akut,sakit gigi, dan luka bakar.

 

2.10    Pelaksanaan Fisioterapi

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, fisioterapi seharusnya selalu memulai dengan melaksanakan assesment yaitu di mulai dari pengkajian  data (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik, dan lain-lain) kemudian dilanjutkan dengan tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi serta tindak lanjut dan evaluasi.

  1. Pengkajian Data

Dalam pengkajian fisioterapi, proses pemeriksaan untuk menentukan problematika pasien dimulai dari anamnesa, pemeriksaan, dan dilanjutkan dengan menentukan diagnose fisioterapi.

a)      Anamnesis

Anamnesa merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis) ataupun dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (hetero anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan melakukan anamnesis ini akan diperoleh informasi-informasi penting untuk membuat diagnosis. Anamnesis dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis umum dan anamnesis khusus. Pada kasus ini berdasarkan autoanamnesis pada tanggal 19 januari 2012 diperoleh informasi sebagai berikut :

b)       Identitas pasien

Data identitas pasien yang diperoleh berupa  nama, jenis kelamin, umur, agama, pekerjaan, serta alamat pasien.

c)        Keluhan utama

Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang mendorong penderita untuk mencari pertolongan.

d)       Riwayat penyakit sekarang

Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses terjadinya riwayat penyakit secara kronologis dengan secara jelas dan lengkap. Yang isinya kapan mulai terjadinya, sifatnya seperti apa, manifestasi lain yang menyertai, penyebab sakit, dan lain-lain.

e)        Riwayat penyakit dahulu / penyerta

Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah dialami yang tidak berkesinambungan dengan munculnya keluhan sekarang.

f)           Riwayat pribadi

Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan yang berkaitan dengan penyebab bell’s palsy.

g)          Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluarga adalah penyakit-penyakit yang bersifat menurun dari orang tua atau keluarga yang lain (Heredo Familial), yang berhubungan dengan bell’s palsy.

h)         Anamnesis sistem

Anamnesis system ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang belum diungkapkan penderita dan untuk melengkapi anamnesis yang belum tercakup diatas, antara lain: kepala dan leher, Kardiovaskuler, Respirasi, Gastrointestinal,Urogenitalis, Muskuloskeletal, Nervorum.

i)          Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan dibagi menjadi dua, antara lain:

(1)    Pemeriksaan fisik

(a)  Tanda – tanda Vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh data sebagai berikut: (1) tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernafasan: (4) temperatur, (5) tinggi badan,  (6) berat badan.

(b)  Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi dinamis.Inspeksi statis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan diam, sedangkan inspeksi dinamis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan bergerak.

(c)   Palpasi

Palpasi adalah pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan memegang bagian tubuh pasien yang akan diperiksa atau yang dikeluhkan pasien.

(d)  Perkusi dan Auskultasi

Perkusi adalah cara pemeriksaan dengan jalan mengetuk/vibrasi, seperti mengetuk untuk mengetahui keadaan suatu rongga pada bagian tubuh tertentu. dan Auskultasi adalah cara pemeriksaan dengan menggunakan indera pendengaran, biasanya menggunakan alat bantu stetoskop untuk mengetahui Ronki,denyut jantung,

(e)      Pemeriksaan gerak

Meliputi pemeriksaan gerak aktif, pasif, isometrik melawan tahanan.  Pada pemeriksaan gerak aktif yang diperiksa adalah sisi yang lemah, meliputi kemampuan mengerutkan dahi, bersiul, tersenyum dan menutup mata.Pada pemeriksaan gerak pasif yang diperiksa adalah sisi wajah yang sakit, yaitu menutup mata, mengerutkan dahi dan tersenyum.Pada pemeriksaan gerak pasif yang dilakukan pada sisi yang lesi atau kanan gerakan mengerutkan dahi, mendekatkan kedua alis, mencucu,bersiul, menutup mata, mengkerutkan hidung ke atas, dan tersenyum.

(f)       Kemampuan fungsional dan lingkungan Aktivitas

Kemampuan fungsional yaitu kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.Sedangkan lingkungan aktivitas adalah keadaan lingkungan sekitar yang berhubungan dengan kondisi pasien.Pemeriksaan kognitif, intrapersonal dan interpersonal.

Kognitif merupakan pengetahuan seseorang atau perilaku manusia yang dikaitkan dengan susunan saraf otak.Kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori pemecahan masalah, pengambilan sikap dan perilaku, orientasi ruang dan waktu.

Intrapersonal adalah kemampuan pasien dalam memahami keadaan dirinya, motivasi dirinya.

interpersonal adalah kemampuan bagaimana berhubungan dengan orang lain disekitarnya.

(2)    Pemeriksaan spesifik

Selain pemeriksaan gerak diperlukan juga diperlukan pemeriksaan spesifik untuk lebih memperjelas permasalahan yang dihadapi.

Untuk kasus ini pemeriksaan spesifik yang dilaksanakan berupa : Tanda bell, skala “Ugo Fisch” dan penilaian kekuatan otot wajah dengan menggunakan skala “Daniel’s and Worthingham Manual Muscle Testing”.

(a)    Tanda Bell’s

Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan dahi, lipatan kulit dahi hanya terlihat pada sisi lesi, dan saat memejamkan mata, bola mata masih terlihat sedikit pada sisi yang sehat.

(b)    Ugo Fisch scale

Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik dan mengevaluasi kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy. Penilaian dilakukan pada  5 posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada tersebut dinilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat.(Lumbantobing 2006)

Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi tersebut antara lain :

  1. 0 % (zero): AsimetrisKomplit, tidak ada   gerakan volunter sama sekali.
  2. 30 % (poor):  Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada gerakan volunter.
  3. 70 % (fair)   : Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal.
  4. 100 % (normal)   : Simetris komplit (normal).

 

Angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi score dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Saat istirahat                         : 20 point
  2. Mengerutkan dahi                : 10 point
  3. Menutup mata                      : 30 point
  4. Tersenyum                           : 30 point
  5. Bersiul                                   : 10 point

Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah adalah 100 point.Hasil penilaian itu diperoleh dari penilaian angka prosentase dikalikan dengan masing-masing point.Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut.

 

(c)     Manual Muscle Testing (MMT) otot-otot wajah

Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing, Yaitu :

  1. Nilai 0 (zero)  : Tidak ada kontraksi yang tampak
  2. Nilai 1 (trace)            : Kontraksi minimal
  3. Nilai 3 (fair)   :Kontraksi sampai dengan simetris sisi  normal maksimal
  4. Nilai 5 (normal)   : Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris.

 

(4)    Uji Diagnostik pada Bell’s Palsy

 

Setelah 10 hari, elektromiografi (EMG) membantu memprediksi tingkat kesembuhan yang diharapkan dengan membedakan kerusakan konduksi sementara dengan interupsi patologis serabut saraf.

 

(5)    Tindakan Penanganan Bell’s Palsy

  1. Kortikosteroid bisa meringankan edema saraf fatal dan meningkatkan konduksi saraf dan aliran darah.
  2. Setelah hari ke 14 terapi kortikosteroid, elektroterapi bisa membantu mencegah atrofi otot fasial.

 

2.11         Pencegahan

                        Seperti disarankan oleh Dokter Syaraf agar Bell’s Palsy tidak mengenai Anda, cara-cara yang bisa ditempuh adalah:

  1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah.
  2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
  3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
  4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah/masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bell’s Palsy.
  5. Setelah berolah raga berat, JANGAN LANGSUNG mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
  6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup. Takut dibilang “orang aneh”? Pertimbangkan dengan biaya yang Anda keluarkan untuk pengobatan.

Sebagai catatan:

  1. Wanita hamil berpotensi 3X lebih mudah terkena Bell’s Palsy daripada wanita yang tidak hamil.
  2. Penderita diabetes, perokok, dan pengguna obat-obatan sejenis steroid berpotensi 4X lebih mudah terserang Bell’s Palsy daripada orang lain.
  3. Rata-rata 40.000 orang Amerika setiap tahun menderita Bell’s Palsy.

 

 

 

 

 

 

BAB 3

PENUTUP

3.1.     Kesimpulan

Pasien Bell’s palsy pada awalnya merasakan ada kelainan pada mulut yang tampak mencong ke satu sisi, salah satu kelopak mata tidak dapat dipejamkan, mulut tidak dapat mencucu, apabila berkumur atau  minum maka air akan tumpah melalui salah satu sisi mulut yang lesi. Keadaan tersebut disebabkan adanya paralisis otot- otot wajah pada sisi yang sakit. Kondisi ini merupakan permasalahan yang dialami pasien sehingga peran fisioterapis diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot- otot wajah serta mencegah komplikasi lebih lanjut

Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan kontraksi otot dan membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak  yang normal serta bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot. Pada kasus Bell’s Palsy ini rangsangan gerak dari otak tidak dapat disampaikan kepada otot-otot wajah yang disyarafi. Akibatnya kontraksi otot secara volunter hilang sehingga diperlukan bantuan dari rangsangan arus faradik untuk menimbulkan kontraksi otot.Rangsangan arus faradik yang dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali otot- otot yang lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya.

Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran pada otot-otot wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah. Stroking memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri, Efflurage dapat membantu pertukaran zat-zat dan melancarkan metabolisme dengan mempercepat peredaran darah, Finger Kneading berfungsi untuk memperbaiki peredaran darah dan memelihara tonus otot. Sedangkan tapping dengan ujung jari dapat merangsang jaringan otot untuk berkontraksi. Dengan massage tersebut maka efek relaksasi dapat dicapai dan elastisitas otot tetap terjaga dan potensial timbulnya perlengketan jaringan pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat dicegah.

3.2      Saran

Suatu keberhasilan terapi juga ditentukan oleh sikap dari pasien itu sendiri,  jadi perlu ada kerjasama dengan baik antara terapis, pasien serta keluarga pasien. Untuk mengoptimalkan hasil terapi yang diberikan maka disarankan

Fisioterapis hendaknya sebelum melakukan terapi kepada pasien          diawali dengan pemeriksaan yang teliti, mencatat permasalahan             pasien, menegakkan diagnosis dengan tepat, memilih modalitas      yang sesuai dengan permasalahan pasien, melakukan    evaluasi dan    memberikan edukasi pada pasien sehingga nantinya akan          memperoleh hasil yang optimal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://fisterdiv07ums.blogspot.com/2009/04/bell-pasi.html

http;// Id.Wikipedia.org

Sumber :http://in-sehat.blogspot.com/2012/07/bells-palsy-belpasi.html

http://samuelpenuhperjuanganhidup.blogspot.com/2012/07/penatalaksanaan-bells-palsy-kiri-dengan.html

MAKALAH POSTURAL DRAINASE

Posted: April 10, 2013 in Uncategorized

BAB I

PNDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Postural Drainase adalah teknik pengaturan posisi tertentu untuk mengalirkan sekresi pulmonar pada area tertentu dari lobus paru dengan pengaruh gravitasi. Pembersihan dengan cara ini dicapai dengan melakukan salah satu atau lebih dari 10 posisi tubuh yang berbeda. Setiap posisi mengalirkan bagian khusus dari pohon trakeobronkial-bidang paru atas, tengah, atau bawah-ke dalam trakea. Batuk atau penghisapan ke­mudian dapat membuang sekret dari trakea.

Spasme bronkus dapat dicetuskan pada beberapa klien yang menerima drainase postural. Spasme bronkus ini disebabkan oleh imobilisaisi sekret ke dalam jalan napas pusat yang besar, yang meningkatkan kerja napas. Untuk menghadapi risiko spasme bronkus, perawat dapat meminta dokter untuk mulai memberikan terapi bronkodilator pada klien selama 20 menit sebelum dranase postural.

Klien pada pengobatan antihipertensi tidak mampu mentolerir perubahan postur yang diperlukan. Perawat harus memodifikasi prosedur untuk memenuhi toleransi klien dan tetap membersih­kan jalan napasnya.

Klien dan keluarga harus diajarkan cara posisi postur yang tepat di rumah. Beberapa postur perlu dimodifikasi untuk me­menuhi kebutuhan individual. Sebagai contoh, posisi miring `trendelenderg’ untuk mengalirkan labus bawah lateral harus di­lakukan dengan klien berbaring miring datar atau posisi miring semi Fowler’s bila ia bernapas sangat pendek (dispnea). Gambar dan daftar berikut menunjukkan area bronkial dan posisi tubuh yang ber­hubungan untuk drainasenya.

  1. B.     Tujuan
    1. Untuk mengetahui apa itu postural drainase
    2. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya postural drainase
    3. Untuk mengetahui berbagai macam posisi pada postural drainase
    4. Untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan postural drainase

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Pengertian

Postural drainase (PD) merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi.. Mengingat kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka PD dilakukan pada berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan parunya. Waktu yang terbaik untuk melakukan PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam sebelumtidur pada malam hari.

Postural drainase (PD) dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan vibrating.

Postural darinase (PD) merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan mempergunakan gaya berat dan sekret itu sendiri. Postural Drainase (PD) dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran nafas tetapi mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi ateletaksis. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak postural drainase lebih efektif bila disertai dengan perkusi dan vibrasi dada.

  1. B.     Tujuan dilakukan Postural Drainase
    1. Untuk mengeluarkan secret yang tertampung.
    2. Untuk mencegah akumulasi secret agar tidak terjadi atelektasis.
    3. Mencegah dan mengeluarkan secret.
  2. C.    Indikasi dan Kontra Indikasi Klien yang Mendapat Drainase Postural
    1. Indikasai
      1. Mencegah penumpukan secret yaitu pada:
  • pasien yang memakai ventilasi
  • pasien yang melakukan tirah baring yang lama
  • pasien yang produksi sputum meningkat seperti pada fibrosis kistik, bronkiektasis
  1. mobilisasi secret yang tertahan :
  • pasien dengan atelektasis yang disebabkan oleh secret
  • pasien dengan abses paru
  • pasien dengan pneumonia
  1. Kontraindikasi
  • Tension pneumotoraks
  • Hemoptisis
  • Gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark miokard akutrd infark dan aritmia.
  • Edema paru
  • Efusi pleura yang luas
  1. D.    Posisi untuk Drainase Postural
    1. Bronkus Apikal Anterior Lobus atas

 

Untuk menguras lendir dari segmen apikal lobus atas, minta pasien duduk di posisi yang nyaman di tempat tidur atau permukaan datar dan bersandar pada bantal terhadap kepala tempat tidur atau pemberi perawatan. Perawat menepuk  dan menggetarkan di atas area otot antara tulang selangka dan sangat bagian atas tulang belikat (daerah diarsir dari diagram) di kedua sisi selama 3 sampai 5 menit. Dorong pasien untuk mengambil napas dalam-dalam dan batuk selama perkusi untuk membantu membersihkan saluran udara.

  1. Bronkus Apikal Posterior Lobus kanan

 

Minta Pasien duduk dengan nyaman di kursi atau sisi tempat tidur dan membungkuk, lengan menggantung, menghadap bantal. Perawat menepuk dan menggetarkan dengan kedua tangan di atas punggung atas pada kedua sisi kanan dan kiri.

  1. Bronkus Lobus atas Anterior

 

Minta pasien berbaring datar di tempat tidur atau meja dengan bantal di bawah kepala dan kakinya untuk kenyamanan. Perawat menepuk dan menggetarkan sisi kanan dan kiri bagian depan dada, antara tulang selangka dan puting.

  1. Bronkus Lingual Lobus atas kiri

 

Minta pasien berbaring miring ke kanan dan posisi Trandelenburg, dengan kaki di tempat tidur ditinggikan 30 cm. tempatkan bantal dibelakang punggung, dan gulingkan klien seperempat putaran ke bantal. Perawat menepuk dan menggetarkan daerah luar puting.

  1. Bronkus Lobus tengah kanan

 

Minta pasien berbaring miring kiri dan tinggikan kaki tempat tidur 30 cm. tempatkan bantal di belakang punggung pasien dan gulingkan klien seperempat putaran bantal. Perawat menepuk dan menggetarkan di luar daerah puting yang tepat.

  1. Bronkus Lobus bawah Anterior kanan dan kiri

 

Minta pasien berbaring terlentang dengan posisi Trandelenburg dengan kaki tempat tidur ditinggikan 45 sampai 50 cm. biarkan lutut menekuk pada bantal. Perawat menepuk dan menggetarkan di atas tulang rusuk yang lebih rendah di sisi kiri, seperti yang ditunjukkan di bagian yang diarsir dari diagram. Ini kemudian harus diulang pada sisi yang berlawanan, dengan perkusi dan getaran di atas tulang rusuk yang lebih rendah di sisi kanan dada.

  1. Bronkus Basal Posterior kanan dan kiri

 

Minta pasien berbaring tengkurap dalam posisi Trendelenburg dengan kaki tempat tidur ditinggikan 45 sampai 50 cm. Perawat menepuk dan menggetarkan bagian bawah punggung, di atas sisi kiri dan kanan tulang belakang, hati-hati untuk menghindari tulang belakang dan tulang rusuk yang lebih rendah.

  1. Bronkus Lateral Lobus bawah kanan dan kiri

 

Minta pasien berbaring miring ke kanan dan ke kiri pada posisi Trandelendurg dengan kaki tempat tidur ditinggikan 45 sampai 50 cm. Perawat menepuk dan menggetarkan di atas bagian paling atas dari bagian bawah tulang rusuk kiri, seperti yang ditunjukkan di daerah yang teduh. Ini kemudian harus diulang pada sisi yang berlawanan, dengan perkusi dan getaran selama bagian paling atas dari sisi kanan tulang rusuk yang lebih rendah.

  1. Bronkus Superior Lobus bawah kanan dan kiri

 

Minta pasien berbaring terlungkup dengan bantal di bawah lambung. Perawat menepuk dan menggetarkan pada bagian bawah tulang belikat, di kedua sisi kanan dan kiri tulang belakang, hindari perkusi/tepukan langsung atau getaran di atas tulang belakang itu sendiri.

  1. E.     Pelaksanaan Postural Drainase
    1. Persiapan pasien untuk postural drainase

a)      Longgarkan seluruh pakaian terutama daerah leher dan pinggang.

b)      Terangkan cara pengobatan kepada pasien secara ringkas tetapi lengkap.

c)      Periksa nadi dan tekanan darah.

d)     Apakah pasien mempunyai refleks batuk atau memerlukan suction untuk mengeluarkan secret.

  1. Cara melakukan pengobatan :

a)      Terapis harus di depan pasien untuk melihat perubahan yang terjadi selama Postural Drainase.

b)      Postoral Drainase dilakukan dua kali sehari, bila dilakukan pada beberapa posisi tidak lebih dari 40 menit, tiap satu posisi 3 – 10 menit.

c)      Dilakukan sebelum makan pagi dan malam atau 1 s/d 2 jam sesudah makan.

  1. Penilaian hasil pengobatan :

a)      Pada auskultasi apakah suara pernafasan meningkat dan sama kiri dan kanan.

b)      Pada inspeksi apakah kedua sisi dada bergerak sama.

c)      Apakah batuk telah produktif, apakah sekret sangat encer atau kental.

d)     Bagaimana perasaan pasien tentang pengobatan apakah ia merasa lelah, merasa enakan, sakit.

e)      Bagaimana efek yang nampak pada vital sign, adakah temperatur dan nadi tekanan darah.

f)       Apakah foto toraks ada perbaikan.

  1. Kriteria untuk tidak melanjutkan pengobatan :

a)      Pasien tidak demam dalam 24 – 48 jam.

b)      Suara pernafasan normal atau relative jelas.

c)      Foto toraks relative jelas.

d)     Pasien mampu untuk bernafas dalam dan batuk.

  1. Alat dan bahan :

a)      Bantal 2-3

b)      Tisu wajah

c)      Segelas air hangat

d)     Masker

e)      Sputum pot

  1. Prosedur kerja :

a)      Jelaskan prosedur.

b)      Cuci tangan.

c)      Pakai masker.

d)     Pilih area yang tersumbat yang akan didrainase berdasarkan pengkajian semua bidang paru, data klinis dan gambaran foto dada.

e)      Baringkan klien dalam posisi mendrainase area tersumbat.

f)       Minta klien mempertahankan posisi selama 10 sampai 15 menit.

g)      Selama 10-15 menit drainase pada posisi ini, lakukan perkusi dada, vibrasi dan/atau gerakkan iga di atas area yang didrainase.

h)      Setelah drainase pada postur pertama, minta klien duduk dan batuk. Tampung sekresi yang dikeluarkan dalam wadah yang bersih. Bila klien tidak dapat batuk, harus dilakukan pengisapan (suctioning).

i)        Berikan tisu untuk membersihkan sputum.

j)        Minta klien istirahat sebentar bila perlu.

k)      Berikan minum.

l)        Ulangi langkah a-k sampai semua area yang tersumbat telah terdrainase. Setiap tindakan tidak lebih dari 30 sampai 60 menit.

m)    Ulangi pengkajian dada pada semua bidang paru.

n)      Cuci tangan.

  • o)      Dokumentasi (jam, hari, tanggal, respon pasien).

p)      Jika sputum masih belum bisa keluar, maka prosedur dapat diulangi kembali dengan memperhatikan kondisi pasien.

  1. Evaluasi Setelah Dilakukan Drainase Postural

a)      Auskultasi : suara pernapasan meningkat dan sama kiri dan kanan.

b)      Inspeksi : dada kanan dan kiri bergerak bersama-sama.

c)      Batuk produktif (secret kental/encer).

d)     Perasaan klien mengenai darinase postural (sakit, lelah, lebih nyaman).

e)      Efek drainase postural terhadap tanda vital (Tekanan darah, nadi, respirasi, temperature).

f)       Rontgen thorax.

  1. Drainase postural dapat dihentikan bila:

a)      Suara pernapasan normal atau tidak terdengar ronchi.

b)      Klien mampu bernapas secara efektif.

c)      Hasil roentgen tidak terdapat penumpukan secret.


 

BAB III

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Postural drainage (PD) dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan vibrating.

Tujuan dari postural drainase yaitu :

  1. Untuk mengeluarkan secret yang tertampung.
  2. Untuk mencegah akumulasi secret agar tidak terjadi atelektasis.
  3. Mencegah dan mengeluarkan secret.

Posisi untuk postural drainase :

  1. Bronkus Apikal Anterior Lobus atas.
  2. Bronkus Apikal Posterior Lobus kanan.
  3. Bronkus Lobus atas Anterior.
  4. Bronkus Lingual Lobus atas kiri.
  5. Bronkus Lobus tengah kanan.
  6. Bronkus Lobus bawah Anterior kanan dan kiri.
  7. Bronkus Basal Posterior kanan dan kiri.
  8. Bronkus Lateral Lobus bawah kanan dan kiri.
  9. Bronkus Superior Lobus bawah kanan dan kiri.
  10. B.     Saran

Mungkin dalam penulisan makalah ini sangat banyak kesalahan dan kekeliruan, karena kami hanyalah manusia biasa. Oleh karena itu mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca supaya dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik dan bagus.

 

 

Daftar Pustaka

http://pikekkek-blogspot.blogspot.com/2010/01/postural-drainase.html

http://copd.about.com/od/copdtreatment/ig/Postural-Drainage-Positions

http://skripsi.yonokomputer.com/2011/10/postural-drainage.html

 

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.

 

1.2  Tujuan

Tujuan Umum

Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu mengetahui tantang hemotoraks.

 

Tujuan Khusus

Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu :

  1. menjelaskan definisi hemotoraks
  2. menyebutkan etiologi hemotoraks
  3. menjelaskan patofisiologi hemotoraks
  4. menyebutkan tanda dan gejala hemotoraks
  5. menyebutkan komplikasi hemotoraks
  6. menjelaskan derajat perdarahan hemotoraks
  7. menyebutkan faktor resiko hemotoraks
  8. menjelaskan diagnosis hemotoraks
  9. menjelaskan pemeriksaan penunjang hemotoraks
  10.  menjelaskan diagnosis banding
  11. melaksanakan penanganan pada pasien hemotoraks
  12. melaksanakan asuhan keperawatan hemotoraks

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.Trauma misalnya :

  • Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
  • Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh pembuluh internal.

Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami komplikasi, seperti hemothorax.

2.2 ETIOLOGI

  1. 1.      Traumatik
  • Trauma tumpul.
  • Trauma tembus (termasuk iatrogenik)
  1. 2.      Nontraumatik / spontan
  • Neoplasma.
  • komplikasi antikoagulan.
  • emboli paru dengan infark
  • robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.
  • Bullous emphysema.
  • Nekrosis akibat infeksi.
  • Tuberculosis.
  • fistula arteri atau vena pulmonal.
  • telangiectasia hemoragik herediter.
  • kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars thoraxica, aneurisma arteri mamaria interna).
  • sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.
  • patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm, hemoperitoneum).
  • Catamenial

 

2.3 PATOFISIOLOGI

Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru atau arteri, menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti pisau atau peluru menembus paru-paru. mengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi thorax dan paru-paru. Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga pleura. Setiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.

Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra Alveoler, kolaps terjadi pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil , sehingga takanan perifer pembuluh darah paru naik, aliran darah menurun. Vs :T ,S , N. Hb menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak napas, tahipnea,sianosis, tahikardia. Gejala / tanda klinis
Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul.
Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis, tahipnea berat, tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan penurunan curah jantung.

  1. Pemeriksaan diagnostik.
  2. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura, dapat   menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
  3. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
  4. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
  5. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.

 

 

 

 

 

2.4  Tanda dan gejala Hemotoraks

·         Denyut jantung yang cepat

·         Kecemasan

·         Kegelisahan

·         Kelelahan

·         Kulit yang dingin dan berkeringat

·         Kulit yang pucat

·         Rasa sakit di dada

·         Sesak nafas

 

2.5  KOMPLIKASI

  1. Komplikasi dapat berupa  :
    1. Kegagalan pernafasan
    2. Kematian
    3. Fibrosis atau parut dari membran pleura
    4. Syok

Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot besar di dasar toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak. Jika tekanan dalam rongga dada berubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap cairan yang mengumpul di rongga menempatkan pasien pada risiko infeksi dan mengurangi fungsi paru-paru, atau bahkan kehancuran (disebut pneumotoraks ).

2.6  DERAJAT PERDARAHAN

  1. a.      Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
  • Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
  • Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.
  • Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%
  1. b.      Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
  • Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan.
  • Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
  1. c.       Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
  • Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oliguria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
  • Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
  • Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
  1. d.      Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
  • Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
  • Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

 

2.7  Prognosis

Apabila dibiarkan tidak dirawat, akumulasi darah akan sampai pada titik dimana mulai menekan mediastinum dan trakea

2.8  FAKTOR RESIKO

  1. a.      Risiko terjangkit Hemotoraks meningkat bila Anda:

 

2.9  DIAGNOSIS

Dari pemeriksaan fisik didapatkan:

Inspeksi      : ketinggalan gerak

Perkusi       : redup di bagian basal karena darah mencapai tempat yang paling rendah

Auskultasi  : vesikuler

Sumber lain menyebutkan tanda pemariksaan yang bisa ditemukan adalah :

  • Tachypnea
  • Pada perkusi redup
  • Jika kehilangan darah sistemik substansial akan terjadi hipotensi dan takikardia.
  • Gangguan pernafasan dan tanda awal syok hemoragi.

Selain dari pemeriksaan fisik hemotoraks dapat ditegakkan dengan rontgen toraks akan didapatkan gambaran sudut costophrenicus menghilang, bahkan pada hemotoraks masif akan didapatkan gambaran pulmo hilang.

 

2.10          Pemeriksaan penunjang

  1. Hematokrit cairan pleura

Biasanya tidak diperlukan untuk pasien hemotoraks traumatik. Diperlukan untuk analisis dari efusi yang mengandung darah dengan penyebab nontraumatik. Dalam kasus ini, efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50% dari hematokrit sirkulasi mengindikasikan kemungkinan kemotoraks

  • Chest X-ray
  • USG
  • CT-scan

 

 

 

 

 

 

2.11          Diagnosis banding

 

KONDISI PENILAIAN
Tension pneumothorax •  Deviasi Tracheal

•  Distensi vena leher

•  Hipersonor

•  Bising nafas (-)

Massive hemothorax •  ± Deviasi Tracheal

•  Vena leher kolaps

•  Perkusi : dullness

•  Bising nafas (-)

 Cardiac tamponade •  Distensi vena leher

•  Bunyi jantung jauh dan lemah

•  EKG abnormal

 

2.12          PENANGANAN

Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan, dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura. Penanganan pada hemotoraks adalah

  1. Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest tube ( WSD ). 
  2. Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural / cavum pleura.
    1. Macam WSD adalah :

WSD aktif  : continous suction, gelembung berasal dari udara sistem.

WSD pasif  : gelembung udara berasal dari cavum toraks pasien

  1. Pemasangan WSD :

Setinggi SIC 5 – 6 sejajar dengan linea axillaris anterior pada sisi yang sakit .

1)      Persiapkan kulit dengan antiseptik

2)      Lakukan infiltratif kulit, otot  dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela iga yang sesuai, biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.

3)      Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura

4)      Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis

5)      Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk menghindari melukai pembuluh darah di bagian bawah iga

6)      Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi pleura dan perlebar lubangnya

7)      Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan ke dalam kulit

8)      Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi dengan satu jahitan.

9)      Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa dijahit, yang berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti. Tutup dengan selembar kasa hubungkan selang tersebut dengan sistem drainage tertutup air

10)  Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage.

  1. 3.      Thoracotomy.

Torakotomi dilakukan bila dalam keadaan`:

  1. Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.
  2. b.      Pada beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar < 1500ml, tetapi perdarahan tetap berlangsung terus.
  3. c.       Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc / jam dalam waktu 2 – 4 jam.
  4. d.      Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau luka di daerah posterior, medial dari scapula harus dipertimbangkan kemungkinan diperlukannya torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus atau jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.

Tranfusi darah diperlukan selam aada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan chest tube dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah ( artery / vena ) bukan merupakan indikator yang baik untuk di pakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.

Torakotomi sayatan yang dapat dilakukan di samping, di bawah lengan (aksilaris torakotomi); di bagian depan, melalui dada (rata-rata sternotomy); miring dari belakang ke samping (posterolateral torakotomi); atau di bawah payudara (anterolateral torakotomi) . Dalam beberapa kasus, dokter dapat membuat sayatan antara tulang rusuk (interkostal disebut pendekatan) untuk meminimalkan memotong tulang, saraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar dari hanya di bawah 12.7 cm hingga 25 cm.

 

 

 

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN HEMOTORAKS

 

3.1 PENGKAJIAN

Berdasarkan klasifikasi Doenges, dkk (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah :

  1. Aktifitas / istirahat.

Gejala : Dispnea dengan aktifitas ataupun istirahat

1)      Sirkulasi

Tanda

  • Takikardia
  • Frekwensi tidak teratur/disritmia
  • S3 atau S4 / irama jantung gallop (gagal jantung sekunder terhadap effusi)
  • Nadi apical berpindah oleh adanyapenyimpangan mediastinal (dengan tegangan pneumothorak).
  • Tanda Homan (bunyi renyah s/d denyutan jantung, menunjukan udara dalam mediastinum).
  • Tekanan Darah : Hipertensi / hipotensi

2)      Integritas Ego.

Tanda : ketakutan, gelisah

3)      Makanan / Cairan.

Tanda : Adanya pemasangan IV vena sentral/infus tekanan

4)      Nyeri / Kenyamanan

Gejala:

  • Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernapasan, batuk.
  • Timbul tiba-tiba sementara batuk atau regangan (pneumothorak spontan).
  • Tajam dan nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinanan menyebar keleher, bahu abdomen (Effusi Pleural).

Tanda:

  • Berhati-hati pada area yang sakit
  • Perilaku distraksi.
  • Mengkerutkan wajah.

5)      Pernapasan

Gejala:

  • kesulitan bernapas, lapar napas
  • Batuk (mungkin gejala yang ada)
  • Riwayat bedah dada/trauma: Penyakit paru kronik, inflamasi/infeksi paru (Empiema, Efusi) ; penyakit interstisial menyebar (Sarkoidosis) ; keganasan (mis: Obstruksi tumor).
  • Pneumothorak spontan sebelumnya, ruptur empisematous bula spontan, bleb sub pleural (PPOM).

Tanda:

  • Pernapasan ; peningkatan frekwensi/takipnea
  • Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesoris pernapasan pada dada, leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat.
  • Bunyi napas menurun atau tidak ada (sisi yang terlibat)
  • Fremitus menurun (sisi yang terlibat).
  • Perkusi dada : Hiperresonan diatas area terisi udara (pneumothorak), bunyi pekak diatas area yang terisi cairan (hemothorak)
  • Observasi dan palpasi dada : Gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau kemps, penurunan penmgembangan thorak (are yang sakit).
  • Kulit : pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subcutan (udara pada jaringan dengan palpasi).
  • Mental : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan
  • Penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif / terapi PEEP.

6)      Keamanan

Gejala:

  • Adanya trauma dada
  • Radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

3.2  DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. 1.      Takefektif pola pernapasan b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan, gangguan muskuloskeletal, Nyeri ansietas, proses inflamasi.
  2. 2.      (Resiko tinggi)Trauma / penghentian napas b/d penyakit saat ini/proses cedera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan.
  3. 3.      Kurang pengetahuan / kebutuhan belajar (tentang kondisi dan aturan pengobatan b/d kurang terpajan dengan informasi.
  4. 4.      (Resiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d kemungkinan terjadi tension pneumothorak sekunder terhadap sumbatan pada selang dada.
  5. 5.      Perubahan Kenyamanan (nyeri) b/d pemasangan selang dada.
  6. 6.      (Resiko tinggi) Infeksi b/d tindakan invasive.

 

 

3.3  INTERVENSI KEPERAWATAN

  1. 1.      Takefektif pola pernapasan b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan, gangguan muskuloskeletal, Nyeri ansietas, proses inflamasi.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Identifikasi etiologi /factor pencetus, contoh kolaps spontan, trauma, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik.

. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan/pernapasan serak, dispnea, terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.

3. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik dan catat perubahan tekanan udara.

4. Auskultasi bunyi napas.

 

Catat pengembangan dada dan posisi trahea.

6. Kaji fremitus.

7. Kaji adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.

8. Pertahankan posisi nyaman (peninggian kepala tempat tidur).

9. Pertahankan perilaku tenang, Bantu klien untuk kontrol diri dengan gunakan pernapasan lambat/dalam.

10. Bila selang dada dipasang :

– Periksa pengontrol pengisap untuk jumlah hisapan yang benar (batas air, pengatur dinding/meja disusun tepat).

– Periksa batas cairan pada botol pengisap

pertahankan pada batas yang ditentukan.

– Observasi gelembung udara botol penampung.

– Evaluasi ketidak normalan/kontuinitas gelembung botol penampung.

– Tentukan lokasi kebocoran udara (berpusat pada pasien atau system) dengan mengklem kateter torak pada bagian distal sampai keluar dari dada.

– Klem selang pada bagian bawa unit drainase bila kebocoran udara berlanjut.

– Awasi pasang surut air penampung menetap atau sementara.

– Pertahankan posisi normal dari system drainase selang pada fungsi optimal.

– Catat karakteristik/jumlah drainase selang dada.

– Evaluasi kebutuhan untuk memijat selang (milking).

– Pijat selang hati-hati sesuai protocol, yang meminimalkan tekanan negatif berlebihan.

– Bila kateter torak putus/ lepas.Observasi tanda distress pernapasan

– Setelah kateter torak dilepas. Tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril.

INTERVENSI KOLABORASI

– Kaji seri foto thorak.

– Awasi GDA dan nadi oksimetri, kaji kapasitas vital/pengukuran volume tidal.

– Berikan oksigen tambahan melalui kanula/masker sesuai indikasi.

Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat dan memilih tindakan terapiutik yang tepat.

Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologis dan nyeri menunjukan terjadinya syok b/d hipoksia/perdarahan.

Kesulitan bernapas dengan ventilator atau peningkatan tekanan jalan napas diduga memburuknya kondisi/terjadi komplikasi (ruptur spontan dari bleb, terjadi pneumotorak).

Bunyi napas dapat menurun atau tidak ada pada lobus, segmen paru/seluruh area paru (unilateral). Area Atelektasis tidak ada bunyi napas dan sebagian area kolaps menurun bunyinya.

Pengembangan dada sanma dengan ekspansi paru. Deviasi trahea dari area sisi yang sakit pada tegangan pneumothoraks.

Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi cairan / konsolidasi.

Sokongan terhadap dada dan otot abdominal buat batuk lebih efektif/mengurangi trauma.

Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yanmg tidak sakit

Membantu pasien alami efek fisiologis hipoksia yang dapat dimanifestaikan sebagai ansietas/takut

Mempertahankan tekanan negatif intra pleural sesuai yang diberikan, meningkatkan ekspansi paru optimum atau drainase cairan.

Air botol penampung bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk kearea pleural.

Gelembung udara selama ekspirasi menunjukan lubang angin dari pneumothorak (kerja yang diharapkan).

Bekerjanya pengisapan, menunjukan kebocoran udara menetap mungkin berasal dari pneumotoraks besar pada sisi pemasangan selang dada (berpusat pada pasien), unit drainase dada berpusat pada system.

Bila gelembung berhenti saat kateter diklem pada sisi pemasangan, kebocoran terjadi pada pasien (sisi pemasukan / dalam tubuh pasien).

Mengisolasi lokasi kebocoran udara pusat system.

Botol penampung bertindak sebagai manometer intra pleural (ukuran tekanan intrapleural), sehingga fluktuasi (pasang surut) tunjukan perbedaan tekanan antara inspirasi dan ekspirasi. Pasang surut 2-6 selama inspirasi normal dan sedikit meningkat saat batuk. Fluktuasi berlebihan menunjukan abstruksi jalan napas atau adanya pneumothorak besar.

Berguna untuk mengevaluasi kondisi/terjadinya komplikasi atau perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.

Pemijatan mungkin perlu untuk meyakinkan/mempertahankan drainase pada adanya perdarahan segar/bekuan darah besar atau eksudat purulen (Empiema).

Pemijatan biasanya tidak nyaman bagi pasien karena perubahan tekanan intratorakal, dimana dapat menimbulkan batuk/ketidaknyamanan dada.

Pemijatan yang keras dapat timbulkan tekanan hisapan intratorakal yang tinggi dapat mencederai.

Pneumothorak dapat terulang dan memerlukan intervensi cepat untuk cegah pulmonal fatal dan gangguan sirkulasi.

Deteksi dini terjadinya komplikasi penting, contoh berulang pneumothorak, adanya infeksi.

Mengawasi kemajuan perbaikan hemothorak/pneumothorak dan ekspansi paru. Mengidentifikasi posisi selang endotraheal mempengaruhi inflasi paru.

Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi.

Alat dalam menurunkan kerja napas, meningkatkan penghilangan distress respirasi dan sianosis b/d hipoksemia.

  1. 2.      (Resiko tinggi) Trauma / penghentian napas b/d penyakit saat ini/proses cedera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Kaji dengan pasien tujuan / fungsi drainase dada.

2. Pasangkan kateter torak kedinding dada dan berikan panjang selang ekstra sebelum memindahkan/mengubah posisi pasien :

– Amankan sisi sambungan selang.

– Beri bantalan pada sisi dengan kasa/plester.

3. Amankan unit drainase pada tempat tidur pasien

4. Berikan alat transportasi aman bila pasien dikirim keluar unit untuk tujuan diagnostik.

5. Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit.

6. Anjurkan pasien untuk menghindari berbaring/menarik selang.

7. Identifikasi perubahan / situasi yang harus dilaporkan pada perawat.Contoh perubahan bunyi gelembung, lapar udara tiba-tiba, nyeri dada segera lepaskan alat.

8. Observasi tanda distress pernapasan bila kateter torak terlepas/tercabut.

Informasi tentang bagaimana system bekerja berikan keyakinan dan menurunkan kecemasan pasien.

Mencegah terlepasnya kateter dada atau selang terlipat, menurunkan nyeri/ketidaknyamanan b/d penarikan/penggerakan selang.

Mencegah terlepasnya selang.

Melindungi kulit dari iritasi / tekanan.

Mempertahankan posisi duduk tinggi dan menurunkan resiko kecelakaan jatuh/unit pecah.

Meningkatkan kontuinitas evakuasi optimal cairan / udara selama pemindahan.

Memberikan pengenalan dini dan mengobati adanya erosi /infeksi kulit

Menurunkan resiko obstruksi drainase/terlepasnya selang.

Intervensi tepat waktu dapat mencegah komplikasi serius.

Pneumothorak dapat berulang/memburuk karena mempengaruhi fungsi pernapasan dan memerlukan intervensi darurat.

  1. 3.      Kurang pengetahuan / kebutuhan belajar (tentang kondisi dan aturan pengobatan b/d kurang terpajan dengan informasi.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien.

2 .Identifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang.

3. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, seperti : nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distress pernapasan lanjut.

4. Kaji ulang praktek kesehatan yang baik contoh : nutrisi baik, istrahat, latihan.

Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan.

Penyakit paru yang ada seperti PPOM berta dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh. Pasien sehat yang menderita pneumothorak spontan insiden kekambuhan 10 – 50 %.

Berulangnya pneumothorak/hemothorak memerlukan intervensi medik untuk mencegah/menurunkan potensial komplikasi.

Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 4

PENELITIAN JOURNAL

 

PENGAMATAN HASIL PENANGANAN EVAKUASI HEMOTORAKS ANTARA WSD DAN CONTINOUS SUCTION DRAINAGE

 

Sub Bagian Bedah Toraks Bagian Ilmu Bedah FK-USU / RS HAM / RS Pirngadi Medan

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Penderita hemotoraks dapat terjadi akibat trauma tumpul toraks maupun trauma tajam toraks. Trauma tumpul toraks sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja1,2

Pengumpulan darah dalam rongga toraks akan menekan paru-paru sehingga mengganggu ventilasi yang berakibat hipoksia. Gabungan hipovolemia dan hipoksia akan menyebabkan kematian.2

Penanggulangan hemotoraks dengan pemasangan tube torakostomi dengan WSD atau CSD untuk evakuasi darah adalah tindakan penyelamatan jiwa penderita.1,3,4

Bila ada sisa darah akan menimbulkan komplikasi gangguan pengembangan paru, kronik atelektasis, pneumoni dan empiema.5

Perumusan Masalah

Kasus hemotoraks akibat trauma tumpul toraks dan trauma tajam toraks cenderung meningkat. Diperlukan penanganan segera untuk penyelamatan jiwa penderita dengan melakukan pemasangan tube torakostomi dihubungkan dengan WSD atau CSD.

Dirumah-rumah sakit daerah sering CSD tidak tersedia karena alat ini sangat mahal. Apakah WSD layak dipakai dibandingkan sisa darah.

Tujuan Penelitian

Membandingkan hasil penanganan evakuasi hemotoraks (sisa darah) antara Water Seal Drainage (WSD) dan Continous Suction Drainage (CSD) pada penderita hemotoraks.

Kontribusi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan adanya penyederhanaan biaya pada penanganan hemotoraks.

 

 

METODOLOGI PENELITIAN

Rancangan/ Lokasi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian experimental, acak dan terbuka.Penelitian ini dilakukan pada Sub Bagian Bedah Toraks FK USU H.Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan.

Pelaksanaan Penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita hemotoraks yang datang ke Sub Bagian Bedah FK USU RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan, selama kurun waktu Oktober 2000-April 2001.

Kriteria eksklusi: – Penderita <>

– Hemotoraks ringan jumlah darah <>

– Hemotoraks bukan oleh karena trauma tajam dan tumpul (misalnya akibat keganasan).

Setiap penderita hemotoraks dilakukan pemeriksaan gejala dan tanda klinis dan pemeriksaan foto Rontgen AP/L posisi tegak. Kemudian dilakukan pemasangan tube torakostomi dengan WSD atau CSD yang ditentukan secara acak. Setelah tiga hari dilakukan foto Rontgen kontrol toraks AP/L, dinilai residual darah ada (+) atau tidak (-).

Hasil penelitian dianalisa secara statistik dengan menggunakan Student t-test dengan tingkat batas kemaknaan p 0,05. Besar sample berdasarkan jumlah penderita/kasus yang diamati selama 6 bulan.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pengumpulan data yang diperoleh selama periode penelitian ditemukan 44 penderita hemotoraks dimana secara acak 22 penderita diterapi dengan WSD dan 22 penderita lagi diterapi dengan Continous Suction Drainage (CSD). Satu dari 22 penderita yang diterapi dengan CSD keluar dari penelitian oleh karena pindah ke rumah sakit lain.

Demografi Penderita

Tabel 1. Distribusi umur dan jenis kelamin pada penderita hemotoraks

UMUR (TAHUN) JENIS KELAMIN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN
15-25 20 1 21
26-35 10 1 11
36-45 8 8
46-55 2 2
56-65 1 1
Total 41 2 43

Penderita termuda dalam penelitian ini adalah berumur 15 tahun dan tertua berumur 64 tahun.

 

Jenis Trauma

Tabel 2. Jenis trauma toraks yang menyebabkan hemotoraks

JENIS TRAUMA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
Kecelakaan lalu lintas 14 2 16
Tusukan benda tajam 26 26
Luka tembak 1 1
Jumlah 41 2 43

Jenis trauma yang paling banyak adalah trauma tajam sebanyak 27 penderita (62,8%).

 

Residual darah pada WSD dan CSD

Tabel 3. Residual darah penderita hemotoraks pada WSD dan CSD

RESIDUAL DARAH WSD CSD JUMLAH
+ 9 3 12
13 18 31
Jumlah 22 21 43
X2 = 3,785 Df =1 p = 0,0517

4.1.4. Jenis penanganan menurut jenis trauma

Tabel 4. Jenis penanganan penderita hemotoraks menurut jenis trauma

JENIS

PENANGANAN

KECELAKAAN

LALU LINTAS

TRAUMA

TAJAM

LUKA

TEMBAK

WSD 7 15
CSD 9 12 1
X2 = 0,560 Df = 1 p = 0,4541

 

Penanganan

Tabel 5. Hasil penanganan penderita hemotoraks dengan WSD menurut jenis trauma

WSD KECELAKAAN

LALU LINTAS

TRAUMA

TAJAM

LUKA TEMBAK
Residual darah (+) 5 4
Residual darah (-) 2 11
X2 = 3,956 Df = 1 p = 0,0467

Tabel 6 Hasil penanganan penderita hemotoraks dengan CSD menurut jenis trauma

CSD KECELAKAAN

LALU LINTAS

TRAUMA

TAJAM

LUKA TEMBAK
Residual darah (+) 3 1
Residual darah (-) 6 10 1
X2 = 0169 Df = 1 p = 0,4315

 

PEMBAHASAN

Dari 43 penderita hemotoraks pada penelitian ini selama kurun waktu 7 bulan, kelompok usia terbanyak adalah pada rentang umur 15 – 25 tahun sebanyak 21 penderita (48,9%). Hal ini dapat dimengerti karena mereka termasuk usia produktif yang selalu dekat dengan trauma. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi penderita laki-laki sangat menonjol yaitu 41 penderita (95,3%) dibanding dengan penderita perempuan hanya 2 penderita (4,7%), yaitu 20 : 1. Schulpen et al (1986) mendapatkan hasil yang hampir sama, usia terbanyak adalah berumur antara 16-25 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4 : 1.21 Mandal (1989) mendapatkan usia rata-rata penderita adalah 28,1 tahun, sedangkan pada penelitian ini dijumpai rata-rata usia penderita adalah 29 tahun (28,6 10,4 tahun).22

Pada penelitian ini penyebab hemotoraks yang paling banyak adalah trauma tajam (tusukan benda tajam) 27 penderita (62,8 %) seperti diperlihatkan pada tabel 2. Mandal (1989) melaporkan morbiditas penderita trauma tajam toraks adalah hemotoraks 41,5 % sedangkan Mattox dan Wall (1996) melaporkan 41% penderita hemotoraks.22,23 Bila dibandingkan dengan penelitian ini dengan hasil penelitian Mandal (1989) dan Mattox dan Wall (1996) didapati hasil yang tidak jauh berbeda.

Mengenai residual darah pada WSD dan CSD pada penelitian ini adanya residual darah pada evakuasi hemotoraks dengan CSD dan WSD 12 penderita (27,9%), sedangkan 31 penderita (72,1%) residual darah menghilang, dengan uju statistik Chi Square hampir bermakna (p = 0,0517). Namun kelihatan lebih berhasil dengan mempergunakan CSD daripada WSD.

Pada penelitian ini jenis penanganan (tabel 4) menurut penelitian ini tidak mempengaruhi (p > 0,05) akibat trauma, kecelakaan lalu lintas ataupun luka tembak dengan penanganan WSD maupun CSD.Pada umumnya penderita trauma toraks (85%) dapat ditangani dengan prosedur dan kecakapan sederhana pemasangan tube torakostomi dengan WSD/CSD sebagai tindakan penyelamatan jiwa penderita.1,3,4

Tabel 5 memperlihatkan 22 orang penderita hemotoraks dengan WSD lebih efektif dalam pengosongan sisa darah akibat trauma tajam (p <>

Umumnya penderita hemotoraks dengan trauma tumpul disebabkan oleh patah tulang iga ataupun dislokasi patah tulang iga yang menyucuk atau merobek jaringan paru, sehingga rasa nyeri bila penderita bernafas mengganggu ekspansi paru untuk mengeluarkan darah.1,15 Akan tetapi hasil penanganan penderita hemotoraks dengan CSD (tabel 6) penderita dengan hasil tidak ada sisa darah pada trauma tajam 11 penderita (28,6%). Ini berarti CSD lebih efektif dalam mengosongkan sisa darah akibat trauma tajam maupun akibat trauma tumpul (p> 0,05).

Oleh karena pengosongan dilakukan dengan bantuan mesin penghisap kontiniu bertekanan negatif, maka ekspansi paru tidak perlu dengan cara aktif (tarik nafas dalam) tetapi dapat berlangsung secara pasif dan juga rasa nyeri pada waktu bernafas tidak berpengaruh untuk tidak terjadinya ekspansi.15

 

Perbedaan Komplikasi Drenase Torakostomi Pada Trauma Toraks Tertutup dan Terbuka

Tahun 1997 Volume 32 Nomor 4
Oleh : Faik Heyder

Latar Belakang : Drenase torakostomi biasanya dilakukan untuk mengembangkan kembali paru atau evakuasi darah / udara yang terjadi pada trauma tajam ataupun trauma tumpul toraks. Tindakan tersebut merupakan pembedahan yang invasif hingga mungkin timbul komplikasi yang perlu dicegah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tindakan tersebut .

Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi komplicasi-komplikasi yang mungkin timbul akibat drenase torakostomi akibat tauma torak dan faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan komplikasi-komplikasi tersebut.

Bahan dan Cara Kerja : Penelitian ini dilakukan pada semua penderita yang dirawat di RS Dr. Kariadi dengan riwayat trauma tumpul atau tajam toraks yang memerlukan drenase torakostomi (biasanya karena pneumo dan atau hemotoraks, pasca bedah atau emfisema sub kutan) selama periode Januari 1995 sampai dengan Desember 1996. Setiap penderita dicatat : umur, jenis kelamin, jenis dan penyebab trauma. Beratnya trauma dinilai dengan dinilai dengan “Revised Trauma Score” (RTS). Saat keluar dari rumah sakit, tiap penderita dicatat lama rawat di ICU, lama penggunaan ventilator dan komplikasi yang terjadi selama pengobatan (empiema, emfisema sub kutan, hemotoraks residual atau pneumotoraks berulang).

Hasil : Selama penelitian drainase torakostomi dilakukan penderita dengan trauma tajam toraks dan 51 dengan trauma tumpul toraks selama 24 bulan. Penderita-penderita dengan trauma tumpul toraks mempunyai nilai RTS yang lebih rendah 5.439 (+ 1.283) : 5.901 (+ 1.212) p = 0.132, lebih sering masuk ke ICU (31.3% : 19.1%), dan lebih alam dirawat di ICU 7.81 (+ 3.310) : 5.6 (+ 1.140) hari, lebih sering menggunakan ventilator (24.4% : 8.3%) dan lebih lama menggunakan ventilator 5.7 (+2.110) : 4 (+ 1.414) hari, jika dibandingkan dengan penderita dengan trauma tajam toraks. Komplikasi drainase torakostomi meliputi empiema, hematoraks yang tersisa dan pneumotoraks berulang terjadi pada 31% penderita dengan trauma tajam dan 27% penderita dengan trauma tumpul toraks.

Kesimpulan : Penderita-penderita dengan trauma tumpul lebih sering dan lama dirawat di ICU, lebih sering dna lebih lama menggunakan ventilator. Di lain pihak, komplikasi akibat drainase torakostomi pada kedua jenis trauma toraks tidak didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan drainase torakostomi masih merupakan cara yang paling efektif untuk mengembangkan kembali paru dan mengevakuasi darah dan udara tanpa komplikasi yang signifikan.

Background : Drainage thoracostomy is usually performed as a measure to reexpand the lugs as well as to evacuate blood or air trapped there following or penetrating thoracic trauma. As with every invasive surgical procedure it is not without complications that have be anticipated in order to decrease morbidity or even mortality rates associated with it.

Objective : This study was conducted to identify possible complications following drainage thoracostomy for thoracic trauma and the the factors associated with the emergnce of these complications.

Methods : This is an observational study over all the patients admitted to the Hospital of Dr Kariadi for blunt or penetrating thoracic trauma who needed a drainage thoracostomy (usually for pneumo and or hemathothorax, post operation or subcutan emphysema) during the period of January 1995 to December 1996. Every patient was recorded for age, sex, kind and cause of the trauma were recorded. The severity of the trauma was acessed with the Revised Trauma Score (RTS). At the time of discharge, every patient had an additional record of the length of stay in the ICU, length of ventilator apparatus usage and complications occurred during treatment (empyema, subcutan emphysema, residual hemothorax or even recurrence of the pnemothorax).

Result : During the period of study (24 months) drainage thoracostomy was performed in 26 patients with penetrating thoracic trauma and 51 with blunt thoracic trauma during a period of 24 months. Patients with blunt thoracic trauma had lower RTS 5.439 (+ 1.283) : 5.901 (+ 1.212) p = 0.132, where more frequent admitted to the ICU (31.3% : 19.1%), and had longer stay in ICU 7.81 (+ 3.310) : 5.6 (+ 1.140) days, more often used ventilator (24.4% : 8.3%) and more longer used ventilator 5.7 (+2.110) : 4 (+ 1.414) days, if compared hemothorax and recurrent pneumothorax, which occurred in 31% patients with penetrating trauma and 27% patients with blunt trauma.

Conclusions : Patients with blunt traumas had more frequent and longer stay in ICU, and more frequent and longer usage of ventilator. On the hand, regarding complications following drainage thoracostomy, both blunt and penetrating trauma showed no statistically significant difference. It is concluded that the usage of drainage thoracostomy is still a very effective way to reexpand the lungs and evacuate blood and or air without very significant complication rate.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 5

PENUTUP

5.1       KESIMPULAN

 

Hemotoraks adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya darah di ruangan antara dua pleura (rongga pleura). Pleura adalah dua lapisan kantung yang meliputi paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada. Penyebab paling umum dari hemotoraks adalah cedera tumpul atau tajam pada dada, seperti ketika terjadi patah tulang iga yang menembus pleura dan menyebabkan darah memasuki rongga pleura. Hal ini dapat membuat paru-paru mengempis, menyebabkan nyeri dada dan kesulitan bernafas. Hal ini merupakan suatu kondisi medis yang darurat yang memerlukan perawatan segera karena jika tidak, dapat terjadi komplikasi yang mengancam jiwa, seperti syok hipovolemik akibat perdarahan yang hebat dan gagal nafas. Perawatan dengan memasukan jarum ke rongga dada biasanya dilakukan untuk mengeluarkan darah di dalam rongga pleura sehingga tekanan terhadap paru-paru dapat berkurang. Apabila hemotoraks berat, tindakan pembedahan yang dikenal dengan nama torakotomi diperlukan untuk menghentikan perdarahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi Revisi.1996.jakarta:EGC

kapita selekta kedokteran.edisi ketiga.1997.Jakarta: Media Aesculapius.FKUI

http://bams-sujatmiko.blogspot.com/2012/12/pengamatan-hasil-penanganan-evakuasi.html

http://indobeta.com/hemothorax

http://wikidoc.org/index.php/Hemothorax

 

 

 

pp trauma toraks

Posted: February 22, 2013 in Uncategorized

Trauma thoraks

RESPONS IMUNITAS YANG RENDAH

PADA TUBUH MANUSIA USIA LANJUT

Fatmah

Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Abstrak

Penuaan (aging) dikaitkan dengan sejumlah besar perubahan fungsi imunitas tubuh, terutama penurunan Cell Mediated, Immunity (CMI) atau imunitas yang diperantarai sel. Kemampuan imunitas kelompok lanjut usia menurun sesuai peningkatan usia termasuk kecepatan respons imun melawan infeksi penyakit. Hal itu berarti bahwa kelompok lansia beresiko tinggi terserang penyakit seperti infeksi, kanker, jantung koroner, kelainan autoimmun atau penyakit kronik lainnya.  Seluruh penyakit ini mudah terjadi pada lansia karena produksi imunoglobulin menurun.

Akibatnya vaksinasi yang diberikan pada kelompok orang tua seringkali tidak efektif melawan penyakit. Orang-orang tua yang umumnya menderita kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki respons sistem dan fungsi imun yang rendah. Oleh karena itu, kasus malnutrisi pada lansia seharusnya memiliki perhatian khusus secara dini, termasuk pemberian vaksinasi untuk

pencegahan penyakit.

Penyakit infeksi yang dialami oleh lansia dapat dicegah atau diturunkan melalui upaya-upaya perbaikan gizi karena sistem imun akan meningkat. Jika fungsi imun lansia dapat ditingkatkan, maka kualitas hidup

individu meningkat dan biaya pelayanan kesehatan dapat ditekan.

 

 

  1. 1.       Pendahuluan

Populasi penduduk usia lanjut (usila) di dunia terus meningkat tanpa disadari. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran, perbaikan pelayanan kesehatan, dan gizi yang lebih baik, maka mereka hidup lebih lama dari sebelumnya khususnya di negara maju sehingga usia harapan hidup (UHH) meningkat dua kali lipat dari 45 tahun di tahun 1900 menjadi 80 tahun di tahun 2000 1. Sementara itu dalam dua dekade terakhir ini terdapat peningkatan populasi penduduk usia lanjut (usila) di Indonesia. Proporsi penduduk usila di atas 65 tahun meningkat dari 1,1% menjadi 6,3% dari total populasi.

Dalam 20 tahun terakhir ini ada peningkatan 5,2% penduduk usila di Indonesia pada tahun 1997. Hal itu mencerminkan bahwa proporsi penduduk usila akan meningkat dua kali pada tahun 2020 menjadi 28,8 juta atau 11,34% dari seluruh populasi 2.

Fenomena terjadinya peningkatan itu disebabkan oleh perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan penelitian-penelitian kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, perbaikanstatus gizi yang  ditandai peningkatan kasus obesitas usila daripada underweight, peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) dari 45 tahun di awal tahun 1950 ke arah 65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup dari urban rural lifestyle ke arah sedentary urban lifestyle, dan peningkatan income per kapita sebelum krisis moneter melanda Indonesia.

Peningkatan jumlah manula mempengaruhi aspek kehidupan mereka seperti terjadinya perubahan-perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial sebagai akibat proses penuaan atau munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut. Secara signifikan orang tua mengalami kasus mortalitas dan morbiditas lebih besar daripada orang

muda. Kerentanan orang tua terhadap penyakit disebabkan oleh menurunnya fungsi sistem imun tubuh.

Untuk memahami terjadinya perubahan respons imunitas tubuh pada orang tua dibutuhkan suatu kajian mendalam tentang sistem imun yaitu salah satu sistem tubuh yang dipengaruhi oleh proses penuaan (aging). Ilmu yang mempelajari sistem imun pada kelompok lansia (elderly) disebut Immuno-gerontologi. Ilmu ini sebenarnya relatif baru dan memiliki banyak temuan-temuan baru di dalamnya seperti yang akan diulas dalam makalah ini.

 

 

 

  1. 2.       Isi

Pengaruh Aging terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh

Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh.

Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia. Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik.

Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri.

 

Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses thymic involution   3. Thymus yang terletak di atas jantung di belakang tulang dada adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit untuk membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel T atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit. Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir.

Saat itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya (saat usia

muda), dan juga tubuh kurang mampu mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak dapat mengidentifikasi dan melawan

kanker atau sel-sel jahat. Inilah alasan mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan dengan usia. Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen lalu merusaknya.

Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.

 

Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun. Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa 49

 

tua. Di samping itu, kelompok dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune. Autoantibodi adalah faktor penyebab rheumatoid arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada orang tua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T yang terjadi sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan interleukin 10 (IL-10). Perubahan substansial pada fungsional dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan peningkatan usia.

Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang melaksanakan suatu studi imunologi longitudinal untuk mengembangkan faktor-faktor prediktif bagi usia lanjut. Fenotip resiko imun ditandai dengan ratio CD4:CD8 < 1, lemahnya proliferasi sel T in vitro, peningkatan jumlah sel-sel CD8+CD28-, sedikitnya jumlah sel B, dan keberadaan sel-sel CD8T adalah CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi CMV pada sistem imun lansia juga didiskusikan oleh Prof.   Paul Moss dengan sel T clonal expansion (CD8T) 4.

 

Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. Sel CD8T  mempunyai 2 fungsi yaitu: untuk mengenali dan merusak sel yang terinfeksi atau sel abnormal, serta untuk menekan aktivitas sel darah putih lain dalam rangka

perlindungan jaringan normal. Para ahli percaya bahwa tubuh akan meningkatkan produksi berbagai jenis sel CD8 T sejalan dengan bertambahnya usia.

Sel ini disebut TCE (T cell clonal expansion) yang kurang efektif dalam melawan penyakit. TCE mampu berakumulasi secara cepat karena memiliki rentang hidup yang panjang dan dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam organisme. Sel-sel TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari total

populasi CD8. Perbanyakan populasi sel TCE memakan ruang lebih banyak daripada sel lainnya, yang ditunjukkan dengan penurunan efektifitas sistem imunitas dalam memerangi bakteri patogen.

 

Hal itu telah dibuktikan dengan suatu

studi yang dilakukan terhadap tikus karena hewan ini memiliki fungsi sistem imunitas mirip manusia. Ilmuwan menemukan tifus berusia lanjut mempunyai tingkat TCE lebih besar daripada tikus normal, populasi sel CD8 T yang

kurang beragam, dan penurunan kemampuan melawan penyakit. Peningkatan sel TCE pada tikus normal menggambarkan berkurangnya kemampuan melawan penyakit. Ilmuwan menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat ditekan pada saat terjadi proses penuaan, maka efektifitas sistem imunitas tubuh dapat ditingkatkan dan kemampuan melawan penyakit lebih baik lagi. Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag, monosit, neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut.

 

 

Jumlah dan Sub-populasi Limfosit

            Aging mempengaruhi fungsi sel T dengan berbagai cara. Beberapa sel T ditemukan dalam thymus dan sirkulasi darah yang disebut dengan sel T memori dan sel T naive. Sel T naive adalah sel T yang tidak bergerak/diam dan tidak pernah terpapard engan antigen asing, sedangkan sel T memori adalah sel aktif yang terpapar dengan antigen.

Saat antigen masuk, maka sel T naive menjadi aktif dan merangsang sistem imun untuk menghilangkan antigen asing dari dalam tubuh, selanjutnya merubah diri menjadi sel T memori. Sel T memori menjadi tidak aktif dan dapat aktif kembali jika menghadapi antigen yang sama. Pada kelompok usila, hampir tidak ada sel T naive sejak menurunnya produksi sel T oleh kelenjar timus secara cepat sesuai usia.

Akibatnya cadangan sel T naive menipis dan sistem imun tidak dapat berespons secepat respons kelompok usia muda. Jumlah sel B, sel T helper (CD4+) juga berubah pada orang tua 4. Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila juga mengalami perubahan permukaan sel T. Ketika sel

T menggunakan reseptor protein di permukaan sel lalu berikatan dengan antigen, maka rangsangan lingkungan harus dikomukasikan dengan bagian dalam sel T.  banyak molekul terlibat dalam transduksi signal, prosesperpindahan ikatan signal-antigen melalui membran sel menuju sel.

Sel T yang berusia tua tidak menunjukkan antigen CD28, suatu molekul penting bagi transduksi signal dan aktivasi sel T. Tanpa CD28, sel T tidak berespons terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh kelompok elderly juga terdapat kandungan antigen CD69 yang lebih rendah. Sel T dapat menginduksi antigen CD69 setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila ikatan

signal-antigen tidak dipindahkan ke bagian dalam sel T, maka antigen CD69 akan hilang di permukaan sel dan terjadi penurunan transduksi signal.

 

Respons Proliferasi Limfosit

Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah perubahan respons proliferatif limfosit seperti berkurangnya

Interleukin-2 (IL-2) yang tercermin dari rusaknya proses signal pada orang tua, minimnya kadar Ca dalam tubuh, dan perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca) pada orang tua mempengaruhi perpindahan signal dengan gagalnya merangsang enzim termasuk protein kinase C, MAPK dan 50

 

MEK; serta menghambat produksi cytokines, protein yang bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan antigen dan memperkuat respons imun. Salah satu cytokine yang dikenal adalah interleukin 2 (IL-2), cytokine diproduksi dan disekresi oleh sel T untuk menginduksi proliferasi sel dan mendukung pertumbuhan jangka panjang selT.

Sesuai peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk menghasilkan IL-2 menurun. Jika terpapar antigen, maka sel T memori akan membelah diri menjadi lebih banyak untuk melawan antigen. Jika produksi IL-2 sedikit atau sel T tidak dapat berespons dengan IL-2, maka fungsi sel T rusak. Perubahan cytokine lain adalahinte rleukin 4, tumor necrosis factor alpha, dan gamma interferon. Viskositas membran sel T juga berubah pada orang tua, tetapi viskositas sel B tetap.

Kompoisisi lipid pada membran limfosit orang tua menunjukkan peningkatan proporsi kolesterol dan fosolipid dibandingkan orang muda. Serum darah orang tua mengandung banyak VLDL dan LDL.  Perubahan komposisi lipid di atas dapat meningkatkan penurunan imunitas tubuh orang tua. Pembatasan asupan lemak mempengaruhi komposisi membran lipid limfosit, meningkatkan level asam linoleat, menurunkan kadar asam docosatetraenoat dan arakhidonat.

 

Produksi Cytokine

Respons limfosit diatur oleh cytokine. Respons limfosit atau sel T helper dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Th-1 dan 2. h-2. Respons antibodi biasanya diperoleh dari Th-2 cytokine. Perubahan produksi cytokine merubah imunitas

perantara sel (Cell Mediated Immunity) pada roang tua. Respons limfosit pada makrofag berubah pada orang tua di mana terdapat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap efek inhibitor 4. Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel B karena sel T dan sel B bekerjasama untuk

mengatur produksi antibodi. Sel T menginduksi sel B untuk hipermutasi gen-gen immunoglobulin, menghasilkan perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis antigen.

Pada orang tua terdapat jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang muda, rendahnya respons IgM terhadap infeksi, dan menurunnya kecepatan pematangan sel B. Semua itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah antibodi yang diproudksi untuk melawan infeksi. Respons tubuh pada orang tua terhadap infeksi penyebab penyakit yang ditunjukkan dengan reaksi demam tidak

berlangsung secara otomatis.

Lebih dari 20% manusia berusia di atas 65 tahun mempunyai infeksi bakteri yang serius tidak mengalami demam, karena tubuh mampu menetralisir demam dan reaksi imun lainnya, tetapi sistem syaraf pusat

kurang sensitif terhadap tanda-tanda imun dan tidak bereaksi cepat terhadap infeksi.

 

 

 

Peningkatan Respons Sistem Imun

Fungsi organ-organ menurun sejalan dengan peningkatan usia manusia. Organ kurang efisien dibandingkan saat usia muda, contohnya timus yang menghasilkan hormon terutama selama pubertas. Pada lansia, sebagian besar kelenjar timus

tidak berfungsi. Tetapi ketika limfosit terpapar pada hormon timus, maka sistem imun meningkat sewaktu-waktu. Sekresi hormon termasuk hormon pertumbuhan dan melatonin menurun pada usia tua dan mungkin dihubungkan dengan sistem imun.Sistem endokrin dipengaruhi oleh penuaan dan sirkulasi hormon-hormon menurun dengan umur. Hormon

DHEA(Dehydroepiandrosterone) erat hubungannya dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh. Prostaglandin, hormon yangmempengaruhi proses tubuh seperti suhu dan metabolisme tubuh mungkin meningkat pada usia tua dan menghambat sel imun yang penting. Kelompok lansia mungkin lebih sensitif pada reaksi prostaglandin daripada dewasa muda, yang menjadi penyebab utama defisiensi imun pada lansia. Prostaglandin dihasilkan oleh jaringan tubuh, tetapi respons sistem imun pada kelompok dewasa muda lebih baik saat produksi prostaglandin ditekan . Nutrisi berperan penting dalam sistem imun tubuh. Pada kelompok dewasa tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan vitamin dan suplemen makanan dapat meningkatkan respons sistem imun, ditunjukkan dengan lebih sedikitnya hari-hari penyakit yang diderita.

Orang tua sering mengalami perasaan kehilangan dan stress, dan penekanan imunitas dihubungkan dengan perasaan kehilangan, depresi, dan rendahnya dukungan sosial. Memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh pengobatan depresi dapat meningkatkan sistem imun kelompok lansia. Secara umum kelompok lansia lebih sering menderita infeksi atau tingkat keparahan infeksi yang lebih besar dan penurunan respons terhadap vaksin lebih rendah (contohnya kematian akibat penyakit tetanus dan flu).

 

 

 

Depresi/Stress dan Rasa Marah mempengaruhi Sistem Imun 6

Pada orang tua, perasaan depresi dan marah dapat melemahkan sistem imun. Mereka rentan terhadap stress dan depresi. Stress menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang melemahkan sistem imun, dan akhirnya mempengaruhi kesehatan sehingga mudah terserang penyakit, serta timbulnya kelainan sistem imun dengan munculnya psoriasis dan eczema.

Saat terjadi stress, maka hormon glukokortikoid dan kortisol memicu reaksi anti-inflammatory dalam sistem imun. Peneliti telah mempelajari hubungan antara marah, perasaan depressi, dan sistem imun pada 82 orang lansia yang hidup dengan pasangan penderita penyakit Al-zheimer.

Ternyata beberapa tahun kemudian kondisi psikologi dan fisik kesehatan mereka menurun, ditunjukkan oleh response sistem imun yang memicu aktivasi sel limfosit. Studi lain yang dilakukan terhadap kesehatan lansia dengan stress menunjukkan level IL-6 atau interleukin-6 (suatu protein dalam kelompok cytokine) meningkat 4 kali lipat lebih cepat sehingga mereka rentan terhadap penyakit jantung, arthritis, dan

sebagainya.

Pada lansia pria, depresi dikaitkan dengan berkurangnya respons imun. Depresi ditimbulkan oleh rasa kesepian, enggan menceritakan masalah hidup yang dialami, dan cenderung memiliki teman dekat lebih sedikit daripada lansia wanita.

Lansia pria mengalami ledakan hormon stress saat menghadapi tantangan  dibandingkan dengan lansia wanita.

Meskipun hubungan antara depresi dengan imunitas berbeda menurut gender, ternyata kombinasi marah dan stress yang dikaitkan dengan penurunan fungsi imun pada kedua kelompok lansia pria dan wanita tidak berbeda. Gangguan tidur pada orang tua dapat melemahkan sistem imun karena darah mengandung penurunan NKC (Natural Killer Sel). NKC adalah bagian dari sistem imun tubuh, jika kadarnya menurun dapat melemahkan imunitas sehingga rentan terhadap penyakit. Studi yang dilakukan di Pittsburgh tahun 1998 menunjukkan pentingnya tidur bagi orang tua untuk memelihara kesehatan tubuh 7.

Upaya Pemeliharaan Kesehatan Lansia terhadap Sistem Imunitas Tubuh: Vaksinasi dan Nutrisi

Sistem imunitas tubuh orang tua ditingkatkan melalui upaya imunisasi dan nutrisi. Tujuan imunisasi untuk memelihara sistem imunitas melawan agen infeksi. Imunisasi/vaksin mengandung substansi antigen yang sama dengan patogen asing

agar sistem imun kenal patogen asing dengan menghasilkan sel T dan sel B. Influenza dan pneumonia adalah dua penyakit yang paling sering diderita oleh orang tua sehingga perlu diberikan vaksinasi influenza bagi mereka. Tetapi

respons antibodi tubuh dan response sel T orang tua terhadap vaksin lebih rendah daripada orang muda mempengaruhi efek pemberian vaksin tersebut. Karakteristik penyakit infeksi yang sering diderita oleh orang tua disajikan pada Tabel .

 

Nutrisi  berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh faktor fisiologi dan psikologi yang mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik

serta ekonomi. Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh berkurangnya kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan bergizi yang tidak

 

Tabel 1. Karakteristik Penyakit Infeksi yang Sering Diderita oleh Orang Tua

Bakteri/Jamur: – pneumonia

ü  infeksi saluran kencing/kandung kemih

ü  endocarditis

ü  diverticulitis

ü  meningitis

ü  TBC

ü  ulcer/tukak lambung dikaitkan dengan penurunan sirkulasi

 

Virus : – influenzae

herpes zoster memadai. Berkurangnya asupan kalori diketahui dapat memperlambat proses penuaan dan membantu pemeliharaan sejumlah besar sel T naive dan tingkat IL-2. Konsumsi protein dan asam amino yang tidak cukup mempengaruhi status imun karena berhubungan dengan kerusakan jumlah dan fungsi imun selluler, serta penurunan respons antibodi.

Vitamin E dan Zn khususnya berperan penting dalam memelihara sistem imun. Defisiensi Zn jangka panjang menurunkan produksi cytokine dan merusak pengaturan aktivitas sel helper T. Vitamin E merupakan treatment yang baik dalam mencegah penyakit Alzheimer, meningkatkan kekebalan tubuh, dan sebagai antioksidan yang melindungi limfosit, otak, dan jaringan lain dari kerusakan radikal bebas.

 

Nutrisi dan Mineral–Mineral yang dapat Meningkatkan Sistem Imun Orang Tua

  • Beta-glucan  Adalah sejenis gula kompleks (polisakarida) yang diperoleh dari dinding sel ragi roti, gandum, jamur (maitake). Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa beta glucan dapat mengaktifkan sel darah putih (makrofag dan neutrofil).

 

  • Hormon DHEA. Studi menggambarkan hubungan signifikan antara DHEA dengan aktivasi fungsi imun pada kelompok orang tua yang diberikan DHEA level tinggi dan rendah. Juga wanita menopause mengalami peningkatan fungsi imun dalam waktu 3 minggu setelah diberikan DHEA.
  • Protein: arginin dan glutamin. Lebih efektif dalam memelihara fungsi imun tubuh dan penurunan infeksi pasca-pembedahan. Arginin mempengaruhi fungsi sel T, penyembuhan luka, pertumbuhan tumor, dans ekresi hormon prolaktin, insulin, growth hormon. Glutamin, asam amino semi esensial berfungsi sebagai bahan bakar dalam merangsang limfosit dan makrofag, meningkatkan fungsi sel T dan neutrofil.
  • Lemak. Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6) menekan respons antibodi, dan kelebihan intake asam linoleat menghilangkan fungsi sel T. Konsumsi tinggi asam lemak omega 3 dapat menurunkan sel T helper, produksi cytokine.

 

  • Yoghurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan probiotik lain. Meningkatkan aktivitas sel darah putih sehingga menurunkan penyakit kanker, infeksi usus dan lambung, dan beberapa reaksi alergi.
  • Mikronutrien (vitamin dan mineral). Vitamin yang berperan penting dalam memelihara sistem imun tubuh orang tua adalah vitamin A, C, D, E, B6, dan B12. Mineral yang mempengaruhi kekebalan tubuh adalah Zn, Fe, Cu, asam folat, dan Se.
  • Zinc. Menurunkan gejala dan lama penyakit influenza. Secara tidak langsung mempengaruhi fungsi imun melaluiperan sebagai kofaktor dalam pembentukan DNA, RNA, dan protein sehingga meningkatkan pembelahan sellular.Defisiensi Zn secara langsung menurunkan produksi limfosit T, respons limfosit T untuk stimulasi/rangsangan, dan produksi IL-2.
  • Lycopene. Meningkatkan konsentrasi sel Natural Killer (NK)
  • Asam Folat 9. Meningkatkan sistem imun pada kelompok lansia. Studi di Canada pada sekelompok hewan tikus melalui pemberian asam folate dapat meningkatkan distribusi sel T dan respons mitogen (pembelahan sel untuk meningkatkan respons imun). Studi terbaru menunjukkan intake asam folat yang tinggi mungkin meningkatkan memori populasi lansia.
  • Fe (Iron). Mempengaruhi imunitas humoral dan sellular dan menurunkan produksi IL-1.
  • Vitamin E 10. Melindungi sel dari degenerasi yang terjadi pada proses penuaan. Studi yang dilakukan oleh Simin Meydani, PhD. di Boston menyimpulkan bahwa vitamin E dapat membantu peningkatan respons imun pada penduduk lanjut usia. Vitamin E adalah antioksidan yang melindungi sel dan jaringan dari kerusakan secara bertahap akibat oksidasi yang berlebihan. Akibat penuaan pada respons imun adalah oksidatif secara alamiah sehingga harus dimodulasi oleh vitamin E.
  • Vitamin C. Meningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua, meningkatkan aktivitas limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari serangan infeksi virus, contohnya virus influenzae.
  • Vitamin A. Berperan penting dalam imunitas non-spesifik melalui proses pematangan sel-sel T dan merangsang fungsi sel T untuk melawan antigen asing, menolong mukosa membran termasuk paru-paru dari invasi mikroorganisme, menghasilkan mukus sebagai antibodi tertentu seperti: leukosit, air, epitel, dan garam organik, serta menurunkan mortalitas campak dan diare. Beta karoten (prekursor vitamin A) meningkatkan jumlah monosit, dan mungkin berkontribusi terhadap sitotoksik sel T, sel B, monosit, dan makrofag. Gabungan/kombinasi vitamin

 

A, C, dan E secara signifikan memperbaiki jumlah dan aktivitas sel imun pada orang tua. Hal itu didukung oleh studi yang dilakukan di Perancis terhadap penghuni panti wreda tahun 1997. Mereka yang diberikan suplementasi multivitamin (A, C, dan E) memiliki infeksi pernapasan dan urogenital lebih rendah daripada kelompok yang hanya

diberikan plasebo.

 

  • Vitamin D. Menghambat respons limfosit Th-1.
  • Kelompok Vitamin B. Terlibat dengan enzim yang membuat konstituen sistem imun. Pada penderita anemiadefisiensi vitamin B12 mengalami penurunan sel darah putih dikaitkan dengan fungsi imun. Setelah diberikan suplementasi vitamin B12, terdapat peningkatan jumlah sel darah putih. Defisiensi vitamin B12 pada orang tua disebabkan oleh menurunnya produksi sel parietal yang penting bagi absorpsi vitamin B12. Pemberian vitamin B6 (koenzim) pada orang tua dapat memperbaiki respons limfosit yang menyerang sistem imun, berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6 menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas sellular.

 

 

  1. 3.       Penutup

     Aging (penuaan) dihubungkan dengan sejumlah perubahan pada fungsi imun tubuh, khususnya penurunan imunitas mediated sel. Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons immun dengan peningkatan usia.

Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi

munoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit.

Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan

kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri (autobody immune).

Defisiensi makro dan mikronutrient umum terjadi pada orang tua yang menurunkan fungsi dan respons sistem imun tubuh.

Malnutrisi pada kelompok lansia harus diwaspadai sejak dini termasuk memikirkan kembali efektifitas

pemberian vaksin bagi orang tua dalam mencegah penyakit infeksi seperti influenza. Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh orang tua dapat dicegah atau diturunkan tingkat keparahannya melalui upaya-upaya perbaikan nutrisi karena dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Jika fungsi imun orang tua dapat diperbaiki, maka kualitas hidup individu meningkat dan biaya pelayanan kesehatan dapat ditekan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

 Abikusno N, Rina KK. Characteristic of Elderly Club Participants of Tebet Health Center South Jakarta. Asia Pacific J Clinical Nutrition 1998; 7: 320-324.

 

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: DirektoratBina Gizi Masyarakat Ditjen Binkesmas Depkes RI, 2003.

Aspinall R. Ageing and the Immune System in vivo: Commentary on the 16th session of British Society forImmunology Annual Congress Harrogate December 2004. Immunity and Ageing 2005; 2: 5.

 

Bell R, High K. Alterations of Immune Defense Mechanisms in The Elderly: the Role of Nutrition. Infect Med 1997;14: 415-424.

 

Nikolich-Žugich J, T cell aging: naive but not young. J Exp Med 2005; 201: 837-840.

Scanlan JM, Vitaliano PP, Zhang P, Savage M, Ochs HD, Lymphocyte Proliferation Is Associated with Gender, Caregiving, and Psychosocial Variables in Older Adults. Journal of Behavioural Medicine 2001; 24: 537-555.

 

Dunhoff C. Sleep May Have Negative Impact on Immune System. UPMC News Bureau, 1998.

 

Dickinson A. Benefits of Nutritional Supplements: Immune Function in the Elderly. The Benefits of Nutritional

Supplements 2002.

 

Daniels S. Folate Supplements could Improve Immune System in the Elderly.http://www.nutraingredients.com.

2002.

 

Murray F. Vitamin E can Boost Immune Response in Elderly People. Better Nutrition 1989-1990.

http://www.findarticles.com. 1991.