Archive for April, 2015

BAB 1

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Cedera servikal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Benturan keras atau benda tajam yang mengenai tulang servikal ini tidak hanya akan merusak struktur tulang saja namun dapat  menyebakan cedera pada medulla spinalis apabila benturan yang disebabkan ini sampai pada bagian posterior tulang servikal. Struktur tulang servikal yang rusak dapat menyebabkan pergerakan kepala menjadi terganggu. Sedangkan apabila mengenai serabut saraf spinal dapat menghambat impuls sensorik dan motorik tubuh.

Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat ±50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki- laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia decade 3.

Trauma pada servikal C1 dan C2 dapat menyebakan dislokasi atlanto-servikalis sehingga kepala tidak dapat melalakukan gerakan mengangguk dan apabila menembus ligamentum posterior dan mencederai medulla spinalis maka pusat ventilasi otonom akan terganggu. Cedera pada C3-C5 menyebabkan gangguan pada otot pernapasan dan cedera pada C4-C7 mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas (qudriplegia).

Karena sangat pentingnya peranan tulang servikalis pada fungsional tubuh manusia maka evaluasi dan pengobatan pada cedera servikal memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen. Penanganan rehabilitas spinal cord dan kemajuan perkembangan multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi servikal dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat. Oleh karena itu, perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami pengetahuan tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengan cedera servikalis. Sehingga pada tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori dengan baik dan terampil.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. ANATOMI

Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.

Atlas bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan tengkorak dan tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan yang lebih besar. C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan mengangguk dan rotasi kepala.

Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah lengkungan dan dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa lateral pada kedua sisi lateral menyediakan sebagian besar massa tulang atlas. Foramina melintang terletak pada aspek lateral. Axis terdiri dari tonjolan tulang besar dan parsaticularis memisahkan unggulan dari proses artikularis inferior. Prosesus yang mirip gigi (ondontoid) atau sarang adalah struktur 2 sampai 3 cm corticocancellous panjang dengan pinggang menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral (kearah kepala) dari tubuh vertebra.

Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang terdapat pada tulang servikal antara lain adalah :

ligamen’ta fla’va : serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan memperluas antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan, dari sumbu ke sacrum.. Namanya Latin untuk “ligamen kuning,” dan ini terdiri dari elastis jaringan ikat membantu mempertahankan postur tubuh ketika seseorang sedang duduk atau berdiri tegak.

Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari tulang belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah dari belakang setiap tulang belakang, yang flava ligamenta membentuk dua sejajar, bersatu garis vertikal dalam kanalis vertebralis. Hal ini juga mencakup dari C2, vertebra servikalis kedua, semua cara untuk S1 dari sacrum , tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang di panggul.

Pada ujung atas, setiap flavum ligamentum menempel pada bagian bawah lamina dari vertebra di atasnya. lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang yang membentuk dua jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh vertebral dan proses spinosus belakangnya. Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap proses yang kurus menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah. Dalam melakukannya, mereka membentuk melebar “V” yang mengelilingi aspek posterior kanal tulang belakang .

Ligamentum nuchae adalah, padat bilaminar septum, segitiga intermuskularis fibroelastic garis tengah. Ia meluas dari tonjolan oksipital eksternal ke punggung C7 dan menempel pada bagian median dari puncak occipital eksternal, tuberkulum posterior C1 dan aspek medial duri terpecah dua belah leher rahim, ligamen terbentuk terutama dari lampiran aponeurotic dari otot leher rahim yang berdekatan dan yg terletak di bawah. Dari dangkal sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang kecil, capitus splenius, dan serratus posterior superior. Juga anatomi, dan mungkin penting secara klinis, ligamen telah ditemukan memiliki lampiran berserat langsung dengan dura tulang belakang antara tengkuk dan C1,

Zygapophyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh manusia. Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-cairan sinovial sendi kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang rawan pada permukaan sendi di tengah atas dan bawah permukaan yang berdekatan dari setiap tulang belakang untuk memungkinkan tingkat gerakan meluncur.

Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat, di atas, untuk batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas dari lamina dari sumbu .

Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk batas bawah lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu . Hal ini diperkuat di garis tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan tuberkulum pada lengkung anterior dari atlas ke tubuh dari sumbu, dan merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum longitudinal anterior .

Ligamentum longitudinal posterior terletak dalam kanalis vertebralis, dan membentang sepanjang permukaan posterior tulang belakang tubuh, dari tubuh sumbu, di mana ia terus-menerus dengan tectoria membrana, untuk sakrum. ligamentum ini lebih sempit di badan vertebra dan lebih luas pada ruang disk intervertebralis. Hal ini sangat penting dalam memahami kondisi patologis tertentu tulang belakang seperti lokasi khas untuk herniasi cakram tulang belakang.

Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang lengkungan di cincin dari atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi di kontak dengan lengkung anterior. Ligamentum transversal membagi cincin dari atlas menjadi dua bagian yang tidak setara: ini, posterior dan lebih besar berfungsi untuk transmisi dari medula spinalis dan membran dan saraf aksesori.

  1. Definisi

Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).

Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput hingga C2.

Trauma leher adalah suatu benturan yang mengenai bagian leher ( tenggorokan ) sebagai akibat terkena benda tumpul ataupun benda tajam.

  1. Etiologi

Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.

Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.

Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:

  1. Fraktur akibat peristiwa trauma

Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.

  1. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan

Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.

  1. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA LEHER

  1. PENGKAJIAN DATA
  2. Data subjektif
  • Klien mengatakan nyeri pada daerah luka
  • Klien mengatakan sulit bernafas
  • Klien mengatakan sulit bicara
  • Klien mengeluh nyeri bila menelan
  • Keluarga mengatakan klien terkena benda tajam
  • Keluarga mengatakan klien dianiaya
  1. Data objektif
  • Klien tampak sukar bernafas dan sesak nafas
  • Klien tampak batuk dan keluar darah
  • Klien tampak pucat dan gelisah
  • Klien tampak cyanosis
  • Tampak keluar darah berbuih pada leher karena perdarahan
  • Klien sulit berbicara
  • Tanda – tanda vital : TD : 130/90 mmHg         Pernafasan : 32 x / mnt  Nadi : 104 x / mnt,  Suhu: 36,9º C
  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
  2. Resiko tinggi aspirasi kedalam paru – paru b/d adanya perdarahan pada leher
  3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d gangguan kemampuan untuk bernafas, batuk dan menelan akibat trauma leher
  4. Nyeri akut b/d adanya perlukaan pada leher
  5. Kerusakan integritas kulit/ jaringan b/d aedanya luka trauma pada leher
  6. Gangguan komunikasi verbal b/d hambatan mengeluarkan suara
  • RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
  1. Resiko tinggi aspirasi kedalam paru – paru b/d adanya perdarahan pada leher

Tujuan : tidak terjadi aspirasi kedalam paru – paru

Kriteria evaluasi :

  1. Perdarahan berhenti
  2. Tidak ada lagi cyanosis
  3. Klien tidak pucat

Intervensi keperawatan

  1. Kaji tingkat perdarahan dan jumlahnya

Rasional :  Perdarahan yang banyak dapat memberikan efek yang berbahaya sehingga harus selalu dipantau untuk memberikan tindakan dengan cepat dan tepat

  1. Observasi tanda – tanda vital

Rasional :  Tanda – tanda vital merupakan indicator untuk menegtahui bila terjadi penurunan kesadaran secara progresif

  1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur 30 – 45 derajat

Rasional :  Untuk mencegah terjadinya aspirasi dan pengumpulan secret/ darah pada leher

  1. Kolaborasikan dengan dokter untuk tindakan trakeatomi

Rasional :  Tindakan trakeatomi dapat membersihkan/ mencuci luka, dieksplorasi dan luka dijahit kembali sehingga perdarahan berhenti

  1. Jelaskan kepada klien tentang pentingnya membatasi gerakan dari kepala dan leher

Rasional :  Untuk meningkatkan pemahaman klien tentang apa yang dialami dan mau bekerjasama dalam memecahkan masalahnya

  1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d gangguan kemampuan untuk bernafas, batuk dan menelan akibat trauma leher

Tujuan : Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan bunyi nafas bersih/ jelas

Kriteria evaluasi :

  • Klien tidak sukar bernafas
  • Klien tidak cyanosis
  • Klien tidak pucat dan gelisah

Intervensi keperawatan

  1. Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan

Rasional :  Perubahan pada pernafasan dapat terjadi akibat obstruksi sehingga pola nafas tidak efektif

  1. Tinggikan kepaa 30 – 45 derajat

Rasional :  Posisi ini memudahkan kerja pernafasan dan ekspansi dada

  1. Dorong batuk efektif dan nafas dalam

Rasional :  Memobilisasi untuk membersihkan jalan nafas dan membantu mencegah komplikasi pernafasan

  1. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian oksigen dan pemasangan intubasi trakeal

Rasional :  Pemberian oksigen dan pemasangan intubasi trakeal akan membantu kebutuhan oksigen klien

  1. Jelaskan pada klien tentang pentingnya batuk efektif

Rasional :  Untuk mengajarkan pada klien bahwa dengan batuk efektif akan memudahkan dalam bernafas

  1. Nyeri akut b/d adanya perlukaan pada leher

Tujuan : menunjukkan nyeri hilang/ ketidaknyamanan dengan menurunnya tegangan dan rileks, tidur dan istirahat dengan tepat

Kriteria evaluasi :

  • Klien tidak merasa nyeri
  • Klien tidak gelisah

Intervensi keperawatan

  1. Kaji tingkat nyeri, skala dan intensitasnya

Rasional :  Untuk mengetahui sejauh mana nyeri dirasakan klien sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat

  1. Sokong kepala dan leher dengan bantal, tunjukkan klien bagaimana menyokong leher selama aktivitas

Rasional :  Kurangnya sokongan, meningkatkan ketidaknyamanan dan dapat memperparah luka yang ada

  1. Berikan tindakan nyaman ( pijatan punggung, perubahan posisi ) dan aktivitas hiburan (melihat televisi, membaca, duduk )

Rasional :  Meningkatkan rileksasi dan membantu klien memfokuskan perhatian pada sesuatu disamping diri sendiri/ ketidaknyamanan dapat menurunkan dosis/ frekuensi analgetik

  1. Anjurkan penggunaan perilaku menajemen stress ( tehknik relaksasi, bimbingan imajinasi )

Rasional :  Meningkatkan rasa sehat, dapat menurunkan kebutuhan analgetik dan meningkatkan penyembuhan

  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik

Rasional :  Analgetik dapat menghilangkan rasa nyeri

  1. HE tentang pentingnya penggunaan perilaku menajemen stress

( Tehknik relaksasi dan bimbingan imajinasi )

Rasional :  Untuk meningkatkan pengetahuan klien betapa pentingnya penggunaan perilaku menajemen stress bila ada nyeri

  1. Kerusakan integritas kulit/ jaringan b/d aedanya luka trauma pada leher

Tujuan : Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi

Kriteria evaluasi :

  • Luka sembuh dengan baik
  • Tidak terjadi komplikasi

Intervensi

  1. Kaji warna kulit/ suhu dan pengisian kapiler pada area luka

Rasional :  Kulit harus berwarna merah mudah atau mirip dengan warna kulit sekitarnya sehingga bila ada kelainan perlu dicurigai adanya iskemi/ nekrosis jaringan

  1. Lindungi luka pada kulit dan jahitan dari tegangan dan tekanan

Rasional :  Tekanan plester atau tegangan pada jahitan dapat menganggu sirkulasi

  1. Bersihkan luka dengan cairan garam faal ( NaCl 0,9 % )

Rasional :  Mencegah pembentukan kerak dan menghindari meningkatnya ukuran luka

  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotic

Rasional :  Antibiotik akan mencegah terjadinya infeksi dan dapat menyembuhkan luka dengan cepat

  1. jelaskan tentang pentingnya melindungi luka pada kulit dan jahitan dari tegangan dan tekanan

Rasional :  Memberikan pemahaman pada klien bahwa luka harus dilindungi dari tegangan atau tekanan untuk memudahkan penyembuhan

  1. Gangguan komunikasi verbal b/d hambatan mengeluarkan suara

Tujuan : Mengidentifikasi/ merencanakan pilihan metode berbicara yang tepat setelah sembuh dan mampu menyatakan kebutuhan dalam cara efektif

Kriteria evaluasi :

  • Klien dapat berbicara dengan lancar dan jelas
  • Klien mampu mengungkapkan kebutuhannya

Intervensi

  1. Kaji tingkat gangguan komunikasi bicara yang dialami klien

Rasional :  Untuk mengidentifikasi sejauh mana gangguan yang dialami klien sehingga dapat memilih tehknik komunikasi yang tepat

  1. Berikan pilihan cara komunikasi yang tepat bagi kebutuhan klien

Rasional :  Memungkinkan klien untuk menyatakan kebutuhan/ masalahnya

  1. Berikan waktu yang cukup untuk komunikasi

Rasional :  Kehilangan bicara dan stress menganggu komunikasi dan menyebabkan frustasi dan hambatan ekspresi

  1. Dorong komunikasi, terus menerus dengan dunia luar ( contoh : koran, televisi, radio, kalender dan jam

Rasional :  untuk merangsang klien didalam melakukan komunikasi dan meningkatkan kepercayaan diri klien

  1. Kolaborasi dengan tim kesehatan yang tepat, terapis, agen rehabilitasi

Rasional :  Untuk memberi kemampuan menggunakan pilihan suara dan metode bicara

  1. Jelaskan pada keluarga untuk selalu berkomunikasi dengan klien setiap saat

Rasional :  Untuk memberikan pemahaman pada keluarga klien bahwa Klien sangat memerlukan bantuan dari orang terdekatnya

BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: Fraktur akibat peristiwa trauma, fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan, fraktur patologik karena kelemahan pada tulang.

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, edema, memar/ ekimosis, spasme otot, penurunan sensasi, gangguan fungsi, mobilitas abnormal, krepitasi, defirmitas, shock hipovolemik.

Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya yaitu: hiperfleksi, fleksi-rotasi, hiperekstensi, ekstensi- rotasi, kompresi vertical. Klasifikasi berdasarkan derajat kestabilan yaitu: stabil dan tidak stabil

Setelah primery survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan eksternal, tahap berikutnya adalah evaluasi radiografik tercakup di dalamnya, plain foto fluoroscopy, polytomography CT-scan tanpa atau dengan myelography dan MRI.

  1. Saran

Sebagai tenaga kesehatan professional, perawat hendaknya dapat memberikan asuhan keperawatan keperawatan pada penderita cegera servikal untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi yang mungkin terjadi. Sehingga dapat diharapkan dapat terwujud kesehatan pada klien cedera servikal secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Syamsu Hidayat dan Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Buku kedokteran EGC Edisi 2, Hlm 489.

Marilynn E. Doenges/ Mary Frances Moorhouse/ Alice C. Geisler, Rencana Asuhan keperawatan ( Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien ), Buku kedokteran EGC Edisi 3, Hlm 205 – 210, Tahun 2000

  1. Nurbaiti Iskandar. Prof, Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorokan, Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Hlm 366 dan hlm 411

Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal.http/www.fik-unipdu.web.id. Diakses tanggal  11 Maret 2011

Dawodu, Segun.2008.Spinal Cord Injury.http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret 2011

Devenport, Moira.2010.Cervical Spine Fracture in Emergency  Medicine. http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret 2011

Eidelson, MD,  Stewart G.  2010 .Lumbar Spine .www.spineuniverse.com/anatomy/lumbar-spine. Diakses tanggal 23 Maret 2011

Khosama, Herlyani.Diagnosis dan Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis. http://neurology.multiply.com/journal/item/27. Diakses tanggal 11 Maret 2011

Malanga, A.Gerrad.2008. Cervical Spine Sprain/Strain Injuries. http://www.medscape.com . Diakses tanggal 11 Maret 2011

askep trauma leher

Posted: April 10, 2015 in Uncategorized

ASKEP TRAUMA LEHER